Novel Larung (2001) karya Ayu Utami merupakan lanjutan dari Saman yang mempertajam eksplorasi kebebasan individu, spiritualitas, dan kritik sosial-politik pascareformasi. Novel ini penuh dengan simbol dan metafora yang menggambarkan pergulatan batin tokoh-tokohnya dalam menghadapi trauma, seksualitas, dan ideologi. Salah satu simbol paling menonjol dalam novel ini adalah tindakan "larung," sebuah konsep yang dalam budaya Jawa sering dikaitkan dengan ritual pelepasan atau pembersihan spiritual.
Tindakan larung dalam novel ini menjadi titik tolak bagi berbagai interpretasi: apakah ia merupakan bentuk penolakan terhadap nilai-nilai tradisional, bentuk perlawanan politik, atau justru pencarian makna spiritual yang lebih dalam? Melalui pendekatan hermeneutik dan intensionalisme, kritik ini akan membandingkan bagaimana makna tindakan larung dapat dipahami dari sudut pandang pembaca dan niat pengarang.
Simbol Larung: Antara Pelepasan dan Perlawanan
Dalam tradisi Jawa, upacara larung biasanya dilakukan untuk membuang benda-benda tertentu ke sungai atau laut sebagai bentuk pelepasan kesialan atau pembersihan spiritual. Namun, dalam Larung, tindakan ini tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga menjadi representasi dari konflik psikologis dan sosial yang dialami oleh tokoh-tokohnya.
Jika ditafsirkan secara hermeneutik, larung dalam novel ini dapat dilihat sebagai tindakan simbolik yang melambangkan pembebasan dari keterikatan terhadap masa lalu dan struktur sosial yang mengekang. Makna ini dapat bervariasi tergantung pada pengalaman dan pemahaman masing-masing pembaca. Seorang pembaca dengan perspektif feminis, misalnya, mungkin akan melihat tindakan ini sebagai simbol pembebasan perempuan dari kungkungan budaya patriarki. Sebaliknya, dari perspektif politik, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya melawan narasi resmi negara terhadap sejarah dan identitas individu.
Dari perspektif intensionalisme, makna larung dalam novel ini lebih dekat dengan niat Ayu Utami sebagai pengarang. Dalam berbagai wawancara, Ayu Utami sering menekankan bahwa karyanya adalah refleksi atas kebebasan berpikir, spiritualitas yang kritis, dan penolakan terhadap otoritas yang membelenggu individu. Dengan demikian, tindakan larung dalam novel ini lebih merupakan ekspresi dari dilema eksistensial tokoh-tokohnya yang berada di persimpangan antara kepercayaan tradisional, modernitas, dan pencarian identitas personal.
Pertentangan antara Hermeneutik dan Intensionalisme
Jika melihat novel ini melalui lensa hermeneutik, tindakan larung menjadi makna yang dinamis dan terbuka terhadap berbagai interpretasi. Pembaca memiliki kebebasan untuk menafsirkan makna tindakan ini sesuai dengan konteks sosial dan pengalaman pribadi mereka. Hal ini sejalan dengan gagasan Hans-Georg Gadamer bahwa teks sastra tidak memiliki makna tetap, melainkan terus berkembang dalam dialog dengan pembaca.
Sebaliknya, pendekatan intensionalisme akan mencoba mengembalikan makna tindakan larung kepada maksud pengarang. Berdasarkan wawancara dan tulisan Ayu Utami, dapat disimpulkan bahwa tindakan ini adalah bagian dari kritiknya terhadap dogma dan otoritas, baik dalam konteks agama, politik, maupun budaya. Dengan demikian, pendekatan ini memberikan batasan terhadap kemungkinan interpretasi yang lebih luas.
Dalam kritik sastra modern, hermeneutik lebih sering digunakan karena memberikan ruang bagi pluralitas makna. Namun, intensionalisme tetap relevan untuk memahami latar belakang penciptaan karya dan tujuan pengarang dalam menyampaikan pesan tertentu.
Kesimpulan
Tindakan larung dalam novel Larung memiliki makna yang kompleks dan dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Dari pendekatan hermeneutik, tindakan ini adalah simbol yang terbuka terhadap berbagai makna, tergantung pada perspektif pembaca. Sementara itu, dari sudut pandang intensionalisme, tindakan ini merupakan refleksi dari gagasan Ayu Utami tentang kebebasan, spiritualitas, dan perlawanan terhadap otoritas.
Perbandingan antara kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa makna sastra tidak pernah tunggal. Dalam konteks Larung, baik hermeneutik maupun intensionalisme dapat digunakan secara bersamaan untuk memahami bagaimana teks ini berfungsi sebagai kritik sosial, eksplorasi spiritual, dan pencarian identitas.
Dengan demikian, novel Larung bukan hanya sekadar kelanjutan dari Saman, tetapi juga menjadi arena pertarungan wacana tentang kebebasan individu dalam menghadapi struktur sosial dan budaya yang terus berubah.