Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York.
Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembenaran yang menyertainya.
Dalam politik, simbol sering kali lebih berbicara daripada fakta. Hotel mewah di Manhattan bukan sekadar tempat bermalam, ia adalah representasi dari pilihan hidup dan nilai yang melekat pada seorang pemimpin. Ketika publik melihat presiden dan rombongan besar tinggal di hotel dengan tarif ribuan dolar per malam, mereka tidak hanya melihat akomodasi, tetapi juga membaca pesan yang lebih dalam: bahwa elit politik masih sulit melepaskan diri dari gaya hidup elitis, meski retorika efisiensi terus didengungkan.
Di Indonesia, isu gaya hidup pejabat selalu menjadi lahan sensitif. Publik masih mengingat deretan kasus pejabat yang viral karena pamer barang branded, pesta pernikahan mewah, atau liburan berbiaya fantastis. Kini, ketika simbol itu muncul dalam skala yang jauh lebih besar—seorang presiden, rombongan 60 orang, dan hotel termewah di jantung Manhattan—wajar jika reaksi masyarakat lebih keras.
Efisiensi yang Jadi Retorika
Sejak lama, pemerintah Indonesia gencar menyerukan efisiensi anggaran. Dari pemangkasan perjalanan dinas hingga penghematan belanja birokrasi, jargon efisiensi menjadi salah satu alat legitimasi politik. Namun, masalah muncul ketika retorika tidak diikuti konsistensi tindakan.
Publik melihat kontradiksi yang nyata: rakyat diminta berhemat, subsidi dipangkas, harga kebutuhan pokok naik, namun di sisi lain pejabat masih bisa dengan ringan menikmati fasilitas kelas dunia. Kontradiksi inilah yang memicu rasa ketidakadilan. Bagi rakyat biasa, seruan efisiensi hanya terasa sebagai perintah sepihak, sementara elit memiliki privilese yang dikecualikan dari aturan yang sama.
Skala rombongan juga menambah kompleksitas isu ini. Rombongan presiden dikabarkan mencapai sekitar 60 orang. Tentu saja, setiap orang dari rombongan itu membutuhkan akomodasi, konsumsi, dan transportasi selama di New York. Biaya yang muncul otomatis membengkak, apalagi jika akomodasinya adalah hotel paling mewah di Manhattan.
Pertanyaannya: apakah benar semua orang dalam rombongan itu memiliki peran esensial? Ataukah sebagian hanyalah “pengiring” yang ikut menikmati perjalanan resmi? Publik berhak mempertanyakan, karena biaya yang dikeluarkan bukan berasal dari kantong pribadi, melainkan dari anggaran negara—uang rakyat.
Fenomena ini juga menyingkap problem struktural: budaya birokrasi Indonesia yang gemar membawa rombongan besar ke setiap acara, seolah jumlah orang menjadi ukuran prestise. Di forum internasional, banyak kepala negara datang dengan tim terbatas, fokus, dan efisien. Ironisnya, Indonesia justru sering menampilkan diri dengan gaya rombongan besar, yang secara simbolik lebih dekat dengan budaya feodal daripada prinsip efisiensi modern.
Dampak paling nyata dari isu ini adalah makin lebarnya jurang kesenjangan sosial—bukan hanya secara material, tetapi juga secara psikologis. Rakyat kecil setiap hari berjuang menghadapi harga beras yang naik, gaji yang stagnan, dan lapangan kerja yang semakin sulit. Sementara itu, elit politik bisa menginap di hotel dengan tarif mungkin setara belanja seabad sebuah keluarga miskin.
Kesenjangan seperti ini bukan hanya membuat rakyat iri, tetapi juga menimbulkan rasa frustasi dan marah. Dalam psikologi sosial, ketidakadilan yang kasat mata adalah pemicu utama erosi kepercayaan terhadap institusi. Begitu rakyat melihat kontradiksi yang terlalu mencolok, mereka akan mulai mempertanyakan legitimasi moral pemerintah.
Pemerintah bisa saja menyodorkan alasan teknis: hotel dipilih karena faktor keamanan, kedekatan dengan markas PBB, atau standar protokol internasional. Namun, publik hari ini tidak lagi mudah diyakinkan. Masyarakat sadar bahwa di Manhattan ada banyak hotel representatif yang lebih hemat biaya tanpa mengorbankan keamanan.
Argumen teknis ini pada akhirnya hanya memperlihatkan satu hal: jarak yang semakin jauh antara cara berpikir birokrasi elit dan persepsi rakyat. Pejabat sibuk dengan alasan prosedural, sementara rakyat hanya melihat kenyataan sederhana—uang negara dipakai untuk kemewahan, dan rakyat diminta untuk berhemat.
Dalam demokrasi, kepemimpinan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal teladan. Keteladanan seorang presiden tercermin dari pilihan sederhana: bagaimana ia hidup, bagaimana ia menggunakan uang rakyat, bagaimana ia menempatkan dirinya dalam simbol publik.
Jika simbol yang ditampilkan adalah kemewahan, maka demokrasi kehilangan rasa kerakyatannya. Ia berubah menjadi panggung sandiwara, di mana elit bicara tentang rakyat, tetapi hidup dalam dunia yang sepenuhnya berbeda. Di titik ini, rakyat hanya menjadi penonton, sementara elit politik hidup dalam lingkaran kemewahan yang semakin jauh dari realitas sehari-hari masyarakat.
Dampak jangka panjang dari praktik seperti ini adalah krisis kepercayaan generasi muda terhadap politik. Generasi Z dan milenial tumbuh dalam era keterbukaan informasi, di mana semua tindakan pejabat bisa terekam dan viral dalam hitungan detik. Mereka peka terhadap isu kesenjangan sosial dan sensitif terhadap tanda-tanda kemunafikan politik.
Jika generasi ini terus-menerus melihat kontradiksi—antara pidato tentang efisiensi dan praktik hedonisme pejabat—maka mereka akan semakin sinis terhadap politik. Demokrasi Indonesia bisa kehilangan generasi muda sebagai basis dukungan moral, karena bagi mereka politik tidak lagi relevan dengan kehidupan nyata.
Kasus hotel mewah Manhattan juga berpotensi menormalisasi gaya hidup hedon di kalangan pejabat. Jika seorang presiden bisa menginap di hotel paling mahal dengan rombongan besar, maka pejabat di level bawah pun merasa berhak meniru. Hedonisme menjadi kultur birokrasi yang dilegalkan, bukan lagi penyimpangan.
Normalisasi ini berbahaya, karena secara perlahan akan menggerogoti moralitas politik. Rakyat akan semakin apatis, merasa bahwa hedonisme pejabat adalah sesuatu yang lumrah dan tak bisa diubah. Padahal, demokrasi hanya bisa bertahan jika ada kontrol moral yang kuat dari rakyat terhadap elit politik.
Penutup: Antara Retorika dan Laku Nyata
Kasus hotel mewah di Manhattan bukan sekadar soal tempat menginap. Ia adalah cermin telanjang dari wajah politik Indonesia hari ini: retorika efisiensi yang patah di hadapan praktik hedonisme.
Jika pemerintah ingin membangun legitimasi moral dan kepercayaan publik, konsistensi adalah kunci. Rakyat bisa menerima pengorbanan, asal pemimpinnya memberi teladan. Rakyat bisa menerima seruan efisiensi, asal pejabat juga hidup sederhana. Namun, jika elit terus mempertontonkan gaya hidup elitis di tengah penderitaan rakyat, maka yang terkikis bukan hanya kepercayaan, melainkan juga moralitas demokrasi itu sendiri.
Di tengah krisis kepercayaan yang semakin dalam, kemewahan pejabat bukan lagi sekadar ironi. Ia adalah bentuk pengkhianatan moral—pengkhianatan terhadap rakyat yang setiap hari diminta berhemat, sementara uang mereka dipakai untuk membiayai gaya hidup mewah penguasa.
(Anonim)