Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan.
Senyum yang Tidak Sederhana
Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin sering saya membaca ulang, senyum itu tidak lagi sederhana.
Apakah itu senyum keputusasaan? Senyum yang menyembunyikan tangis? Atau justru senyum perlawanan yang paling sunyi terhadap hidup yang tidak adil?
Senyum Karyamin bukan sekadar isyarat. Ia menjadi pintu tafsir. Tafsir yang tak selesai, karena kita yang membacanya pun terus berubah.
Apakah Makna Harus Sama?
Sebagai pembaca yang tumbuh di era yang berbeda dari Ahmad Tohari, saya kemudian bertanya: apakah saya harus memahami Karyamin seperti yang dimaksudkan oleh pengarangnya? Atau saya boleh menafsirkan sendiri, dari perspektif saya sebagai anak muda yang hidup di tengah krisis makna, di tengah kapitalisme yang kian menggilas?
Pertanyaan itu membawa saya pada dua kutub dalam dunia sastra. Yang pertama adalah intensionalisme, pendekatan yang percaya bahwa makna karya sastra adalah maksud pengarang. Yang kedua adalah pendekatan hermeneutik, seperti yang dibawa Hans-Georg Gadamer, yang percaya bahwa makna tidak tunggal, melainkan lahir dari pertemuan antara teks dan pembaca.
Dalam intensionalisme, saya mencoba menangkap pesan Ahmad Tohari sebagai pengarang. Ia tampaknya ingin menggambarkan nilai-nilai Islam yang membumi: sabar, ikhlas, dan tawakal dalam kemiskinan. Tapi sebagai pembaca, saya tak bisa menolak kenyataan bahwa saya justru melihat Karyamin sebagai simbol protes. Ia bukan hanya tokoh naratif, tapi wajah konkret dari ribuan pekerja informal yang hari ini hidup tanpa jaminan sosial. Dalam hal ini, saya berdialog dengan teks, bukan sekadar menerima.
Air, Batu, dan Burung
Cerpen ini dipenuhi simbol. Batu yang dipanggul Karyamin adalah beban hidup. Air sungai adalah waktu yang terus mengalir, kadang ada ikan (rezeki), kadang hanya keruh dan dingin. Burung di langit adalah impian—tentang hidup yang lebih bebas dan ringan.
Ahmad Tohari tidak memberi penjelasan panjang tentang simbol-simbol itu. Ia justru membiarkan pembaca menafsir. Dan di situlah kekuatan cerpen ini: ia menyimpan lebih banyak yang tidak dikatakan daripada yang diucapkan.
Membaca Senyum Karyamin seperti berjalan di jalan desa yang sepi, di mana setiap suara menjadi gema. Kita diajak menyimak, merasakan, dan berpikir. Dan semakin kita menyelaminya, semakin kita sadar: hidup tidak pernah tunggal maknanya.
Cerita yang Terus Bertumbuh
Ahmad Tohari pernah mengatakan bahwa menulis adalah bentuk ibadah. Maka Senyum Karyamin mungkin ditulis dengan niat mulia, sebagai doa untuk kaum lemah. Namun ketika ia sampai di tangan pembaca, teks itu tumbuh, berubah, dan menyesuaikan dengan zaman.
Hari ini, senyum Karyamin bisa menjadi simbol ketangguhan rakyat kecil di tengah naiknya harga bahan pokok. Bisa juga dibaca sebagai ironi atas negara yang diam melihat warganya berjelaga kemiskinan. Bahkan, bisa menjadi cermin bagi kita: apakah kita masih mampu tersenyum, ketika hidup menindih begitu berat?
Cerita Karyamin tidak berhenti di cerpen. Ia hidup dalam benak siapa pun yang membaca. Dan di situlah, sastra membuktikan daya hidupnya—ia menjadi milik semua orang, dalam tafsir yang terus bergerak.
Tentang Penulis:
Arsy Sastra Dewi adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Djendral Soedirman (UNSOED).