Dalam beberapa waktu terakhir, muncul gelombang tuntutan publik berupa slogan “Adili Jokowi” yang viral di media sosial, mural-mural kota, hingga aksi langsung di ruang publik. Seruan ini merupakan ekspresi kekecewaan sebagian masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan mantan Presiden Joko Widodo sepanjang dua periode kepemimpinannya.
Beberapa poin utama fenomena “Adili Jokowi”:
• Mural dan slogan publik
Di kota-kota seperti Surabaya, Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Medan, berbagai tulisan “Adili Jokowi” muncul di dinding-dinding kota. Slogan ini menjadi simbol kritis atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik politik yang dinilai merugikan publik (termasuk narasi soal dinasti politik).
Tagar seperti #AdiliJokowi dan #IndonesiaGelap juga menjadi trending di platform X (sebelumnya Twitter), terutama di kalangan mahasiswa, aktivis, dan kaum muda yang menganggap ada “Indonesia Gelap” akibat kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Fenomena tagar #IndonesiaGelap dikaitkan dengan keprihatinan terhadap kondisi ekonomi, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan.
• Aksi demonstrasi di depan Gedung KPK
Puncak dari ekspresi tuntutan ini adalah demonstrasi yang berlangsung pada 2 Oktober 2025 di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dalam aksi yang digelar oleh kelompok bernama Gerakan Lintas Aliansi Adili Koruptor (Gladiator).
Dalam aksi tersebut, massa menuntut agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan pemeriksaan terhadap Jokowi atas dugaan korupsi masa pemerintahan. Selain itu, mereka juga menuntut agar Wakil Presiden (putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka) dimakzulkan.
Tokoh-tokoh publik seperti mantan Menteri Agama Fachrul Razi, aktor Pong Harjatmo, Roy Suryo, dan Said Didu turut turun memberi dukungan dalam orasi-orasi aksi.
Massa juga membawa atribut teatrikal, seperti topeng wajah Jokowi dan rompi oranye ala tahanan KPK, serta simbol-simbol “membangunkan” KPK agar berani bertindak.
Dalam pengamanan aksi, puluhan polisi dikerahkan agar demonstrasi tetap terkendali. Spanduk “Tangkap dan Adili Jokowi” sempat dipasang di area KPK.
Pengamat politik Rocky Gerung menyebut bahwa aksi tersebut mencerminkan kegelisahan politik publik dan menegaskan bahwa tuntutan semacam ini akan terus muncul dalam diskursus publik. Menurutnya, proses pengadilan bisa dimulai dari DPR atau dengan langkah-langkah hukum lain.
• Respons dari kubu pendukung “Hidup Jokowi” dan figur politik
Di sisi lain, muncul respons tandingan berupa slogan “Hidup Jokowi” yang disuarakan oleh sebagian pendukung dan politisi sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan terhadap wibawa mantan presiden.
Salah satu figurnya adalah Presiden Prabowo Subianto, yang dalam beberapa kesempatan secara terbuka membela Jokowi. Pada acara Kongres XVIII Muslimat NU, Prabowo menyatakan bahwa “orang sudah tak berkuasa mau dijelek-jelekkan, jangan.” Dalam peringatan HUT Partai Gerindra, Prabowo bahkan meneriakkan “Hidup Jokowi” sebagai bentuk dukungan simbolis.
Sikap ini ia anggap sebagai upaya menjaga persatuan bangsa dan menolak politik saling menjatuhkan. Dia menuduh adanya pihak-pihak yang berusaha melakukan “politik pecah belah” dengan menyerang figur mantan presiden demi kepentingan tertentu.
PDIP melalui Deddy Sitorus menyebut bahwa coretan “Adili Jokowi” di ruang publik adalah bentuk vandalisme. Ia mendorong agar aspirasi disampaikan melalui mekanisme hukum resmi, seperti melaporkan dugaan ke KPK, bukan lewat aksi coret-coret.
Beberapa kalangan lainnya juga mengingatkan bahwa ekspresi kritis harus berada dalam koridor hukum, agar tidak menimbulkan konflik atau tindakan melanggar hukum.
Fenomena “Adili Jokowi” menunjukkan bahwa masa jabatan seorang presiden tidak otomatis membebaskan diri dari penilaian publik dan tuntutan pertanggungjawaban atas kebijakan masa lalu.
Namun, dari sisi institusional, tantangan terbesar adalah: apakah terdapat dasar hukum yang cukup untuk membuka kembali kasus-kasus terhadap kepala negara yang telah berakhir masa jabatannya.
Di tengah itu, figur politik seperti Prabowo memilih meredam tensi dengan simbol “Hidup Jokowi” agar polarisasi tidak semakin tajam.
Rumusan seimbang bagi demokrasi akan menuntut: penghormatan terhadap hak bersuara dan pengawasan publik, sekaligus perlindungan terhadap moralitas politik dan proses hukum yang adil.