Skip to main content

Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Upaya Mewujudkan Kemakmuran Rakyat Indonesia

Secara teoritis, kebijakan moneter dan fiskal merupakan dua instrumen utama untuk mengatur stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, istilah-istilah seperti “inflasi inti”, “BI Rate”, atau “defisit fiskal” terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Sebab, meskipun indikator makroekonomi tampak membaik — inflasi terkendali, nilai tukar stabil, pertumbuhan ekonomi sekitar 5% — kesejahteraan riil rakyat masih belum menunjukkan peningkatan signifikan.

Di sinilah letak persoalan mendasar: apakah kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia benar-benar berpihak pada kemakmuran rakyat, atau sekadar menjaga stabilitas makro demi kepentingan elite ekonomi dan pasar keuangan?

Kebijakan Moneter: Stabilitas yang Tak Selalu Bermakna untuk Rakyat

Kebijakan moneter yang dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) memiliki mandat utama: menjaga kestabilan nilai rupiah. Fokus ini sering diterjemahkan dalam dua hal — mengendalikan inflasi dan menjaga kurs. Namun, pendekatan yang terlalu teknokratis dan pasar-sentris justru menimbulkan efek paradoksal.

a. Orientasi ke Stabilitas, Bukan Pertumbuhan

Selama dua dekade terakhir, BI cenderung menganut paradigma konservatif: lebih takut inflasi daripada pengangguran. Akibatnya, ketika harga mulai naik sedikit saja, BI langsung menaikkan suku bunga. Padahal, bagi pelaku usaha kecil dan menengah, suku bunga tinggi justru menjadi beban yang menghambat ekspansi dan penciptaan lapangan kerja.

Contoh nyata terjadi pada periode 2022–2023, ketika BI menaikkan suku bunga acuan hingga 6,25% untuk menahan depresiasi rupiah dan arus keluar modal asing. Hasilnya, sektor keuangan stabil — tapi kredit UMKM melambat, dan daya beli masyarakat menurun. Artinya, moneter menjaga stabilitas nominal, tetapi mengorbankan kesejahteraan riil.

b. Ketergantungan pada Kapital Asing

BI juga kerap menyesuaikan kebijakannya demi menjaga kepercayaan investor asing. Ini tampak dari kebijakan “interest rate differential” — menjaga agar suku bunga domestik tetap lebih tinggi dari negara maju seperti AS agar modal asing tetap masuk. Dalam jangka pendek, ini melindungi nilai rupiah. Namun dalam jangka panjang, membuat ekonomi Indonesia tergantung pada arus modal spekulatif, bukan pada kekuatan produksi dalam negeri.

c. Lemahnya Transmisi ke Sektor Riil

Kendati BI menurunkan suku bunga, bank-bank komersial sering enggan menurunkan bunga kredit secara proporsional karena faktor risiko dan biaya dana yang tinggi. Akibatnya, stimulus moneter berhenti di level perbankan — tidak menetes ke sektor riil yang menyerap tenaga kerja. Ini menandakan adanya kegagalan struktural dalam mekanisme transmisi moneter.

Kebijakan Fiskal: Antara Ambisi Pembangunan dan Kenyataan Defisit

Kebijakan fiskal Indonesia yang dijalankan oleh Kementerian Keuangan secara resmi bertujuan mendorong pertumbuhan, pemerataan, dan perlindungan sosial. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini juga menghadapi dilema antara ambisi pembangunan besar-besaran dan keterbatasan kapasitas fiskal.

a. Belanja Negara yang Belum Efisien

Belanja negara Indonesia sering kali bersifat tidak produktif. Anggaran besar dikeluarkan untuk infrastruktur, tapi sebagian proyek tidak memiliki dampak ekonomi langsung bagi masyarakat miskin. Di sisi lain, anggaran untuk pendidikan dan kesehatan — dua sektor kunci kemakmuran jangka panjang — masih sering terserap tidak efisien, bahkan rentan korupsi dan birokrasi.

b. Pajak yang Tidak Adil

Sistem perpajakan Indonesia cenderung regresif. Masyarakat menengah bawah membayar pajak konsumsi (PPN) secara rutin, sementara banyak korporasi besar menikmati insentif pajak atau lolos dari pengawasan. Pajak penghasilan pribadi juga masih terbatas karena basis pajak sempit dan dominasi sektor informal. Akibatnya, beban fiskal lebih banyak ditanggung oleh mereka yang paling lemah.

c. Utang dan Defisit: Perlu tapi Berisiko

Untuk menutup defisit, pemerintah mengandalkan utang, baik dalam maupun luar negeri. Selama utang digunakan untuk proyek produktif, hal ini dapat diterima. Namun, bila digunakan untuk belanja rutin atau subsidi populis tanpa reformasi struktural, maka utang akan menjadi beban generasi berikutnya. Kritik muncul ketika defisit fiskal dianggap “normalisasi”, padahal dalam jangka panjang menurunkan ruang fiskal negara.

Ketimpangan Koordinasi: Moneter dan Fiskal yang Jalan Sendiri-sendiri

Salah satu masalah kronis ekonomi Indonesia adalah kurangnya koordinasi efektif antara kebijakan moneter dan fiskal. Keduanya sering bekerja dengan logika dan kepentingan berbeda:

Ketika BI mengetatkan moneter (menaikkan suku bunga), pemerintah justru memperluas belanja untuk menjaga pertumbuhan — hasilnya: tekanan inflasi meningkat, kebijakan saling meniadakan.

Sebaliknya, ketika BI melonggarkan moneter, tapi realisasi anggaran pemerintah tersendat karena birokrasi dan kehati-hatian fiskal, stimulus ekonomi gagal tersalurkan ke masyarakat.

Ketiadaan “policy mix” yang kohesif membuat perekonomian berjalan tidak efisien. Rakyat akhirnya hanya merasakan dampak separuh dari kebijakan yang seharusnya bisa bersinergi penuh.

Dimensi Politik: Kebijakan Ekonomi Bukan Sekadar Teknis

Kritik paling mendasar adalah bahwa kebijakan moneter dan fiskal sering kali tidak bebas dari tekanan politik dan kepentingan oligarki ekonomi.

BI, meski independen secara hukum, tetap memperhitungkan tekanan dari pasar finansial global dan pemerintah.

Pemerintah, di sisi lain, sering menggunakan instrumen fiskal untuk kepentingan elektoral — seperti menaikkan subsidi atau bantuan sosial menjelang pemilu.

Akibatnya, orientasi kebijakan lebih sering “jangka pendek dan simbolik”, bukan transformasi struktural menuju ekonomi berkeadilan.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Pro-Rakyat

Kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia telah menjaga stabilitas ekonomi, tetapi belum berhasil mewujudkan kemakmuran rakyat secara merata. Akar masalahnya bukan hanya pada instrumen kebijakan, tetapi pada orientasi dan koordinasinya.

Untuk benar-benar berpihak pada rakyat, kebijakan moneter dan fiskal harus:

1. Menggeser orientasi dari stabilitas nominal ke kesejahteraan riil.
2. Menjamin distribusi hasil pembangunan melalui reformasi pajak progresif dan subsidi yang tepat sasaran.
3. Membangun koordinasi moneter–fiskal yang terintegrasi dan transparan.
4. Menghadirkan keberpihakan eksplisit terhadap sektor riil, UMKM, dan tenaga kerja informal.

Kemakmuran rakyat tidak akan datang dari angka inflasi yang rendah atau APBN yang tertib saja — melainkan dari sistem ekonomi yang memfasilitasi produksi rakyat, distribusi yang adil, dan kebijakan publik yang manusiawi.

---


Popular posts from this blog

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...