Skip to main content

Anomali Kekerasan Bahasa "Ndasmu"

 Bahasa merupakan alat komunikasi utama dalam kepemimpinan. Pemimpin negara, terutama seorang presiden, memiliki peran penting dalam membentuk citra kepemimpinan melalui gaya berkomunikasi. Pilihan kata, nada bicara, dan konteks komunikasi dapat berdampak luas, tidak hanya dalam ruang politik domestik tetapi juga dalam ranah internasional. Baru-baru ini, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengandung kata "ndasmu" menjadi sorotan publik. Kata ini dalam bahasa Jawa memiliki makna kasar yang, bergantung pada konteksnya, dapat berkonotasi ofensif atau bercanda.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena ini dari perspektif linguistik, politik, dan etika kepemimpinan.

Kerangka Teori

Untuk memahami fenomena ini secara akademik, kajian ini menggunakan beberapa pendekatan teori:

1. Pragmatik dan Sosiolinguistik

Pragmatik mempelajari bagaimana konteks memengaruhi makna ujaran. Dalam kasus ini, kata "ndasmu" dapat memiliki berbagai interpretasi tergantung situasi komunikasi, hubungan sosial antara pembicara dan audiens, serta budaya yang melatarinya.

2. Komunikasi Politik

Komunikasi politik berfokus pada bagaimana bahasa digunakan oleh aktor politik untuk membangun narasi dan legitimasi kekuasaan. Pemimpin yang menggunakan bahasa kasar bisa dianggap populis dan merakyat, tetapi juga bisa dipersepsikan sebagai kurang berwibawa.

3. Etika Kepemimpinan

Etika dalam komunikasi kepemimpinan menekankan bahwa pemimpin harus menjaga tutur kata sebagai bentuk keteladanan. Dalam ranah kepemimpinan nasional dan internasional, kesantunan bahasa menjadi standar penting dalam membangun legitimasi moral dan politik.

Analisis Linguistik: Konteks dan Makna "Ndasmu"

Makna dan Penggunaan dalam Bahasa Jawa

Secara linguistik, "ndasmu" berasal dari kata ndas yang berarti "kepala" dalam bahasa Jawa. Namun, dalam penggunaan sehari-hari, kata ini sering digunakan dalam konteks ekspresi kekesalan atau ejekan. Dalam komunitas tertentu, kata ini bisa dianggap bercanda, tetapi dalam situasi resmi atau dalam relasi hierarkis, kata ini berpotensi dianggap kasar dan tidak sopan.

Implikasi dalam Komunikasi Politik

Dalam komunikasi politik, penggunaan bahasa yang tidak formal atau kasar dapat mencerminkan dua hal:

1. Kedekatan dengan rakyat – Beberapa pemimpin menggunakan bahasa informal untuk menunjukkan bahwa mereka memahami bahasa sehari-hari rakyatnya.

2. Kurangnya kontrol dalam komunikasi – Ucapan yang tidak terkontrol dapat merusak citra kepemimpinan dan mengurangi legitimasi.

Dalam konteks Presiden Prabowo, penggunaan "ndasmu" dapat dipahami sebagai bentuk komunikasi yang tidak terlalu formal, tetapi juga bisa menimbulkan persepsi bahwa beliau kurang menjaga kesopanan dalam berbicara di ruang publik.

Dampak Sosial dan Politik

Reaksi Publik dan Media

Ucapan pemimpin negara selalu menjadi sorotan, terutama ketika mengandung unsur yang dianggap tidak lazim dalam komunikasi resmi. Media sosial segera menjadi ruang diskusi dengan berbagai perspektif:

Pendukung berargumen bahwa ini adalah bentuk kejujuran dan gaya komunikasi khas Prabowo yang dikenal blak-blakan.

Kritikus menilai bahwa ini adalah anomali dalam komunikasi kepresidenan yang berpotensi menurunkan standar etika dalam politik nasional.

Citra Kepemimpinan dan Legitimasi Politik

Bahasa kasar dapat berkontribusi terhadap delegitimasi kepemimpinan. Pemimpin yang dianggap tidak menjaga etika komunikasi berisiko kehilangan dukungan dari kalangan akademisi, diplomat, dan komunitas internasional yang menilai kepemimpinan dari aspek kesantunan dan kontrol diri.

Analisis Etika Kepemimpinan

Standar Etika dalam Komunikasi Kepemimpinan

Pemimpin negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga komunikasi yang mencerminkan kebijaksanaan dan kesopanan. Standar ini bukan hanya bersifat normatif tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam membangun legitimasi dan pengaruh politik.

Dalam ranah kepemimpinan nasional dan internasional, kesantunan bahasa menjadi penting dalam membangun hubungan yang produktif dan menjaga stabilitas sosial. Seorang pemimpin negara harus berbicara dengan penuh kesadaran bahwa setiap perkataan mereka membawa dampak yang luas. Dalam hal ini, etika komunikasi adalah aspek kunci yang perlu dijaga oleh presiden.

Perbandingan dengan Pemimpin Lain

Beberapa pemimpin dunia memiliki gaya komunikasi yang beragam. Misalnya:

- Barack Obama dikenal dengan retorika yang elegan dan penuh inspirasi.

- Donald Trump sering menggunakan bahasa langsung dan kontroversial yang mendapat kritik dan pujian sekaligus.

- Soeharto cenderung lebih santai tetapi tetap menjaga kesopanan dalam berkomunikasi.

Dari perbandingan ini, dapat dilihat bahwa bahasa seorang pemimpin membentuk persepsi global tentang negara yang dipimpinnya.

Kesimpulan

Penggunaan kata "ndasmu" oleh Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bagaimana bahasa memiliki dampak luas dalam politik dan etika kepemimpinan. Dari perspektif linguistik, kata ini memiliki makna yang bergantung pada konteks, tetapi dalam komunikasi politik, hal ini bisa menimbulkan kontroversi.

Dampak penggunaan bahasa kasar juga berpengaruh pada citra kepemimpinan yang dapat memengaruhi dukungan politik serta hubungan dengan berbagai pihak. Sebagai pemimpin negara, Presiden Prabowo diharapkan untuk menjaga komunikasi yang etis dan penuh tanggung jawab.

Dalam konteks etika kepemimpinan, kejadian ini menegaskan pentingnya standar komunikasi bagi pemimpin nasional. Bahasa yang digunakan bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga instrumen yang membentuk citra negara di mata rakyat dan dunia.




Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...