Skip to main content

“Kabinet Gemuk: Antara Efisiensi Retoris dan Politik Kekuasaan”

Analisis Kritis atas Fenomena Pelantikan Pejabat yang Berlebihan
Oleh: Syansul Maarif

Euforia Kekuasaan di Balik Seremoni Pelantikan
Belum genap setahun menjabat, Presiden Prabowo Subianto tampak begitu rajin melantik pejabat negara. Dari menteri dan wakil menteri hingga staf khusus dan pejabat istana, daftar nama yang dilantik seolah tak berhenti bertambah. Publik mulai mempertanyakan: apakah ini pemerintahan efisien yang dijanjikan, atau justru “kabinet gemuk” yang membebani anggaran negara?
Seremoni pelantikan yang sering kali disiarkan dengan gegap gempita di televisi memberi kesan stabilitas dan kerja cepat. Namun, di balik simbolisme tersebut, terselip paradoks besar: jumlah pejabat yang membengkak justru memperlihatkan wajah birokrasi yang semakin berlapis, tidak ramping, dan cenderung tidak efisien.

Janji Efisiensi yang Menyusut di Tengah Politik Akomodatif
Saat kampanye, Prabowo sering berbicara tentang pentingnya pemerintahan yang efisien dan kuat. Namun setelah berkuasa, realitas politik justru menuntut hal yang berbeda. Dalam upaya menjaga keseimbangan kekuatan antarpartai pendukung, kabinet menjadi ruang kompromi politik.
Kursi menteri dan wakil menteri berubah menjadi instrumen pembagian kue kekuasaan—bukan sekadar alat kerja pemerintahan.
Fenomena ini bukan hal baru dalam politik Indonesia, tetapi intensitasnya di era Prabowo terlihat lebih eksplisit. Banyak pengamat menilai, keputusan menambah posisi wakil menteri dan pejabat istana adalah cara halus untuk merangkul semua pihak agar tidak ada kekuatan politik yang tersingkir.
Namun harga politik ini mahal. Dalam APBN 2025, alokasi belanja pegawai dan operasional kementerian meningkat signifikan. Ironisnya, lonjakan itu justru terjadi di saat pemerintah menyerukan efisiensi dan rasionalisasi anggaran.

Kabinet Gemuk, Kinerja Lambat
Semakin banyak pejabat bukan berarti semakin efektif. Justru sebaliknya: koordinasi menjadi rumit, tumpang tindih kebijakan meningkat, dan pengambilan keputusan melambat.
Beberapa kementerian bahkan kini memiliki dua hingga tiga wakil menteri, sementara garis komando menjadi kabur.
Akibatnya, publik sering menyaksikan pejabat negara saling memberikan pernyataan berbeda terkait isu yang sama — dari kebijakan pangan, pertahanan, hingga energi.
Fenomena ini menggambarkan kelemahan struktural: terlalu banyak orang yang ingin memegang kendali, namun terlalu sedikit yang benar-benar bekerja di lapangan.
Dalam terminologi manajemen, ini disebut overstaffed leadership, kondisi ketika organisasi dipenuhi pemimpin tanpa cukup pelaksana yang efektif. Dampaknya jelas — keputusan menjadi lambat, anggaran tidak efisien, dan orientasi kerja bergeser dari pelayanan publik ke politik internal.

Politik Simbol dan Loyalitas
Pelantikan pejabat kini tampak lebih simbolik daripada fungsional. Setiap seremoni menjadi panggung untuk memperlihatkan kekuasaan dan loyalitas.
Di tengah dinamika politik yang cair, Prabowo tampaknya berusaha memperkuat lingkaran loyalis di berbagai posisi strategis, dari Istana hingga lembaga negara.
Langkah ini memang memperkuat kontrol politik, namun sekaligus melemahkan semangat meritokrasi. Jabatan diberikan bukan karena kompetensi, melainkan kedekatan atau jasa politik. Dalam jangka panjang, pola ini berpotensi menciptakan birokrasi yang tidak profesional — sulit melakukan kritik, dan rawan korupsi kekuasaan.

Dampak terhadap Citra Pemerintahan
Narasi efisiensi dan kemandirian ekonomi yang menjadi jualan utama Prabowo di awal pemerintahan kini berhadapan dengan realitas politik yang kontradiktif.
Di mata publik, “kabinet gemuk” menciptakan citra pemerintahan yang boros dan tidak konsisten.
Setiap pelantikan baru menjadi bahan sindiran di media sosial: “Efisien katanya, tapi kursinya terus ditambah.”
Selain persoalan citra, secara ekonomi pun struktur birokrasi yang terlalu besar membebani APBN. Gaji pejabat tinggi, fasilitas dinas, staf pendukung, hingga kendaraan operasional memakan miliaran rupiah per tahun.
Belum lagi biaya perjalanan dinas, tunjangan, dan protokol resmi.
Dalam situasi ekonomi yang belum pulih, langkah ini tampak tidak sensitif terhadap rasa keadilan publik.

Jalan Keluar dari Politik Boros
Kritik terhadap kabinet gemuk bukan sekadar soal jumlah pejabat, tetapi tentang arah pemerintahan. Jika Prabowo ingin mengembalikan kepercayaan publik, ada beberapa langkah mitigatif yang perlu dipertimbangkan:
• Reformasi Struktur Kementerian – Evaluasi tumpang tindih fungsi dan kurangi jabatan yang tidak berdampak langsung pada kinerja.
• Transparansi Penunjukan Pejabat – Proses seleksi harus berbasis kompetensi dan kinerja, bukan loyalitas politik.
• Penguatan Birokrasi Profesional – Dorong pejabat karier dari ASN yang berintegritas, bukan politisi yang mencari posisi aman.
• Audit Efisiensi Anggaran – Kementerian dan lembaga harus dipaksa membuktikan efektivitas setiap rupiah yang digunakan untuk gaji pejabatnya.
• Kembali ke Esensi Pelayanan Publik – Pemerintah harus menegaskan kembali bahwa jabatan adalah alat untuk bekerja, bukan alat politik.

Antara Gengsi Kekuasaan dan Akal Sehat Pemerintahan
Fenomena pelantikan yang terus-menerus ini mencerminkan dilema klasik antara politik kekuasaan dan idealisme tata kelola negara.
Prabowo Subianto, sebagai presiden yang dikenal tegas dan nasionalis, kini dihadapkan pada ujian besar: apakah ia akan menjadi pemimpin yang menegakkan efisiensi dan disiplin birokrasi, atau justru terjebak dalam lingkaran kompromi politik yang gemuk dan boros?
Publik menanti jawaban, bukan dari pidato-pidato atau seremoni pelantikan berikutnya — tetapi dari tindakan nyata yang menunjukkan bahwa efisiensi bukan sekadar slogan.

Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...