Skip to main content

Feodalisme Kyai dan Santri di Lingkungan Pesantren?

Pesantren selama ini dikenal sebagai benteng moral bangsa, tempat persemaian ilmu agama dan akhlak. Di balik tembok-temboknya yang sederhana, tumbuh relasi yang sakral antara kyai dan santri. Namun, di tengah perubahan zaman dan modernisasi pendidikan Islam, muncul fenomena yang jarang diungkap secara terbuka: feodalisme dalam dunia pesantren.
Relasi kyai-santri yang semula dibangun atas dasar keilmuan dan keteladanan spiritual, kini di beberapa tempat bergeser menjadi relasi patron-klien — di mana posisi kyai begitu dominan dan nyaris tak tersentuh kritik. Sementara para santri, yang mestinya menjadi penuntut ilmu yang merdeka, sering kali terjebak dalam sikap tunduk total, bahkan hingga ke ranah yang tak lagi ilmiah, melainkan personal dan politik.
Dalam banyak pesantren, kyai bukan hanya guru spiritual, tapi juga penguasa simbolik, bahkan administratif. Ia mengatur segalanya: dari sistem pendidikan, ekonomi pesantren, hingga arah politik warga sekitar. Aura karismatik yang dimiliki kyai—sering dianggap barokah—membuat setiap keputusan, sekecil apa pun, jarang dipersoalkan.
Beberapa pesantren besar bahkan telah berkembang seperti kerajaan kecil: ada struktur kekuasaan, loyalitas buta, dan sistem pewarisan. Anak kyai mewarisi kepemimpinan bukan berdasarkan kapasitas intelektual, tetapi darah keturunan. Di sinilah akar feodalisme pesantren tumbuh: ketika karisma digantikan oleh garis nasab, dan otoritas spiritual berubah menjadi kekuasaan genealogis.
Hal ini membuat pesantren kadang kehilangan ruh egalitariannya. Bukankah dalam Islam, ukuran kemuliaan bukan nasab, tapi ketakwaan dan ilmu? Namun di lapangan, “putra kyai” sering dianggap lebih utama dari “santri biasa”, bahkan ketika kemampuan intelektualnya tidak menonjol.
Santri memuliakan guru adalah kewajiban moral yang luhur. Namun, penghormatan itu bisa menjelma menjadi kepatuhan tanpa batas. Banyak santri menganggap perintah kyai—bahkan di luar konteks agama—sebagai titah suci. Dalam beberapa kasus, mereka diminta ikut dalam kegiatan ekonomi atau politik yang sejatinya tak berhubungan dengan proses belajar-mengajar.
Fenomena ini melahirkan bentuk ketundukan yang disebut oleh sebagian peneliti sebagai “spiritual authoritarianism” — otoritarianisme yang dibungkus kesalehan. Santri tidak lagi belajar untuk berpikir kritis, tetapi untuk mengikuti. Kritik dianggap kurang ajar, perbedaan tafsir dianggap durhaka. Maka lahirlah generasi yang taat tanpa nalar.
Peran politik kyai sebenarnya punya akar panjang dalam sejarah Indonesia. Dari perjuangan melawan kolonialisme hingga reformasi, banyak ulama tampil sebagai penggerak rakyat. Namun dalam konteks kontemporer, hubungan kyai dengan politik sering melahirkan bentuk baru dari feodalisme: politik patronase berbasis agama.
Banyak politisi memanfaatkan simbol “restu kyai” untuk legitimasi elektoral. Sementara sebagian kyai memanfaatkan posisi ini untuk mengamankan kepentingan keluarga, pesantren, atau jaringan sosialnya. Santri pun menjadi alat mobilisasi suara, bukan lagi subjek politik yang sadar, melainkan obyek loyalitas.
Dalam konteks ini, pesantren yang mestinya menjadi laboratorium moral bangsa justru berpotensi menjadi arena reproduksi kekuasaan tradisional.
Feodalisme di pesantren tidak lahir dalam ruang kosong. Ia tumbuh dari budaya agraris Jawa dan Madura yang sangat menghormati figur “bapak” atau pemimpin karismatik. Dalam struktur sosial tradisional, kyai menempati posisi seperti priyayi rohani — simbol otoritas yang sakral. Pengaruh kolonialisme dan politik Orde Baru juga memperkuat posisi kyai sebagai mediator antara negara dan masyarakat bawah.
Namun ketika struktur sosial itu tidak diimbangi dengan pendidikan kritis dan transparansi manajemen, muncul ketimpangan relasi kuasa yang sulit dibongkar. Banyak pesantren berjalan seperti lembaga feodal: siapa dekat kyai, ia berkuasa; siapa berbeda pendapat, ia tersingkir.
Meski demikian, tidak semua pesantren terjebak dalam sistem feodal. Banyak pesantren progresif kini berupaya menumbuhkan iklim musyawarah, membuka ruang bagi santri untuk berdialog dan berdebat ilmiah. Kyai yang visioner memahami bahwa otoritas sejati bukan pada ketakutan santri, melainkan pada keikhlasan mereka meneladani ilmu.
Islam sendiri mendorong pembebasan intelektual: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS Al-Baqarah: 256). Maka, menegakkan tradisi kritis bukan berarti melawan kyai, tetapi mengembalikan makna ta’dzim (penghormatan) ke bentuk yang sehat — bukan takluk, tapi sadar.
Kyai dan santri adalah dua kutub yang saling melengkapi dalam dunia pesantren. Namun, ketika relasi itu kehilangan keseimbangan, lahirlah feodalisme yang menyesakkan. Pesantren harus berani menatap cermin: apakah lembaga ini masih menjadi tempat pembebasan spiritual, atau justru benteng kekuasaan tradisional yang melanggengkan hierarki?
Masa depan pesantren Indonesia bergantung pada keberanian moralnya untuk melakukan otokrisi. Jika kyai bersedia membuka ruang dialog, dan santri berani berpikir kritis tanpa kehilangan adab, maka feodalisme akan luruh, digantikan oleh budaya ilmu yang sejati. Sebab, dalam Islam sejati — kemuliaan tidak diwariskan, tetapi diperjuangkan melalui ilmu dan akhlak.

Popular posts from this blog

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...