Skip to main content

Pendidikan Ala Ki Hajar Dewantara

Ketika kita berbicara tentang pendidikan di Indonesia, nama Ki Hajar Dewantara pasti muncul sebagai tokoh utama. Beliau bukan hanya Bapak Pendidikan Nasional, tetapi juga pencetus gagasan pendidikan yang membebaskan, mendidik dengan keteladanan, dan membangun karakter. Nah, bagaimana sebenarnya konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara?

1. Belajar dengan Kebebasan: Pendidikan yang Memerdekakan

Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan harus membebaskan manusia, bukan sekadar mengajarkan hafalan atau mencetak tenaga kerja. Beliau ingin setiap anak tumbuh sesuai dengan bakat dan minatnya, bukan dipaksa mengikuti sistem yang kaku. Konsep ini mirip dengan "Merdeka Belajar" yang sekarang diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia.

2. Tiga Pilar Pendidikan: Ing Ngarsa Sung Tulodho

Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara terkenal dengan semboyan:

Ing ngarsa sung tulodho (di depan memberi teladan)

Ing madya mangun karso (di tengah membangun semangat)

Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan)

Prinsip ini menekankan peran guru sebagai contoh, motivator, dan pendukung bagi siswa. Artinya, pendidikan tidak hanya soal memberikan pelajaran, tetapi juga membentuk karakter dan kemandirian anak didik.

3. Pendidikan untuk Semua

Di masa penjajahan, pendidikan hanya untuk kaum elite. Ki Hajar Dewantara mendobrak hal ini dengan mendirikan Taman Siswa pada 1922, sekolah yang terbuka untuk rakyat biasa. Konsep ini mengajarkan bahwa pendidikan harus inklusif dan bisa diakses oleh semua kalangan, bukan hanya mereka yang mampu secara ekonomi.

4. Belajar dengan Alam dan Budaya Sendiri

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang baik adalah yang sesuai dengan lingkungan dan budaya sendiri. Itulah sebabnya di Taman Siswa, metode belajarnya tidak kaku seperti sekolah kolonial, tetapi lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, menggunakan bahasa dan budaya lokal sebagai bagian dari pembelajaran.

5. Pendidikan Sebagai Alat Perubahan Sosial

Ki Hajar Dewantara tidak melihat pendidikan hanya sebagai cara untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga sebagai alat untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Ia ingin pendidikan melahirkan manusia yang mandiri, berpikir kritis, dan peduli terhadap lingkungan sosialnya.

Kesimpulan

Pendidikan ala Ki Hajar Dewantara bukan sekadar teori, tetapi filosofi yang masih relevan hingga sekarang. Ia mengajarkan bahwa belajar harus membebaskan, membangun karakter, dan sesuai dengan budaya sendiri. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita bisa menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan relevan bagi generasi masa kini.

Jadi, sudahkah kita menerapkan pendidikan yang memerdekakan dalam kehidupan sehari-hari?




Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...

Amarah Rakyat

Agustus 2025 menjadi saksi kebangkitan kemarahan rakyat yang tak tertahankan. Di tengah kota-kota besar Indonesia, suara teriakan “Polisi Pembunuh!” menggema, bercampur asap hitam dari gedung-gedung DPR dan kantor polisi yang dibakar. Rumah-rumah pejabat dijarah, mobil-mobil mewah dijadikan sasaran amukan massa. Ini bukan sekadar protes; ini ledakan frustrasi yang telah lama menumpuk. Kemarahan rakyat bukan tanpa alasan. Banyak warga kini kesulitan mencari pekerjaan, sementara gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menambah jumlah pengangguran setiap hari. Harga kebutuhan pokok naik tanpa henti, sementara pejabat dan aparat hidup mewah, sering terlihat berfoya-foya di media sosial, tanpa rasa empati terhadap kesulitan rakyat. Kenaikan tunjangan anggota DPR yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan dianggap simbol ketidakadilan paling nyata. Di mata rakyat, janji kesejahteraan hanyalah kata-kata kosong yang tak pernah terasa. Insiden tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online b...