Skip to main content

Refleksi atas Film Dirty Vote: Mendidik Kesadaran Politik di Era Demokrasi yang Ternoda


Film dokumenter Dirty Vote karya Dandhy Dwi Laksono mengguncang kesadaran publik Indonesia menjelang Pemilu 2024. Film ini tidak sekadar menyuguhkan informasi, tetapi menjadi cermin tajam tentang praktik kekuasaan dan moralitas politik. Tiga pakar hukum tata negara — Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar — mengurai bagaimana kekuasaan bisa memanipulasi hukum, kebijakan, dan aparat negara demi kepentingan elektoral.
Sebagai bahan pendidikan politik, film ini membuka ruang dialog kritis tentang makna demokrasi sejati, etika kepemimpinan, dan tanggung jawab warga negara dalam menjaga kedaulatan rakyat.

Mari kita analisis, pertama Kekuasaan dan Manipulasi Demokrasi. Demokrasi seharusnya menjamin kesetaraan hak dan keadilan politik. Namun, Dirty Vote menyingkap bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik dapat digunakan untuk menekan sistem agar berpihak pada kelompok tertentu.
Fenomena seperti politik dinasti, bansos yang dipolitisasi, dan lemahnya lembaga pengawas pemilu menunjukkan bahwa demokrasi bisa berjalan secara “prosedural tapi tidak substantif” — rakyat memilih, tapi pilihan mereka telah diarahkan.
Demokrasi tanpa moral dan transparansi hanya akan melahirkan oligarki yang disamarkan oleh kotak suara.

Kedua, Pelemahan Etika Publik dan Netralitas Negara. Film ini juga menyoroti hilangnya etika dalam berpolitik. Ketika pejabat publik dan aparat birokrasi tidak lagi netral, maka pemilu kehilangan makna sebagai sarana kedaulatan rakyat.
Perilaku seperti “bagi-bagi jabatan”, tekanan terhadap ASN, atau intervensi kebijakan menjadi tanda bahwa negara telah kehilangan kompas moralnya.
Politik etis seharusnya menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan keluarga, partai, atau kelompok.

Ketiga, Peran Media dan Kesadaran Publik
​Dirty Vote memanfaatkan kekuatan media digital untuk menyebarkan pesan politik ke jutaan penonton tanpa harus melalui sensor institusional. Ini memperlihatkan kuasa informasi dan literasi media dalam membentuk kesadaran masyarakat.
Namun, film ini juga memperlihatkan rentannya publik terhadap disinformasi dan framing politik, terutama jika masyarakat tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.
Pelajaran politiknya Warga yang cerdas media (media literate) akan lebih sulit dimanipulasi oleh kekuasaan.

Keempat, Krisis Kepercayaan terhadap Lembaga Demokrasi. Kritik dalam film ini mencerminkan krisis legitimasi terhadap lembaga seperti KPU, Bawaslu, dan Mahkamah Konstitusi. Ketika lembaga-lembaga penjaga demokrasi ikut terpolitisasi, maka rakyat kehilangan tempat berlindung.
Krisis ini menandakan bahwa demokrasi bukan sekadar sistem, tapi budaya politik yang menuntut integritas dan partisipasi aktif warga negara.


Dari Film Dirty Vote kita belajar bahwa:
  • Demokrasi memerlukan rakyat yang sadar dan berani berpikir kritis. Pemilih tidak boleh pasif; mereka harus memahami kebijakan, bukan sekadar figur.
  • Literasi politik harus diajarkan sejak sekolah. Siswa perlu memahami bagaimana kekuasaan bekerja, apa itu penyalahgunaan wewenang, dan bagaimana menjadi warga negara yang berintegritas.
  • Etika dan tanggung jawab sosial adalah inti dari kepemimpinan. Pemimpin sejati tidak hanya menang secara politik, tetapi juga benar secara moral.
Film ini bisa menjadi media pembelajaran yang efektif untuk menumbuhkan kesadaran kritis, integritas, dan kepedulian terhadap demokrasi.

​Dirty Vote bukan sekadar film dokumenter, tetapi aksi pendidikan politik yang menantang publik untuk bertanya:
Apakah kita masih hidup dalam demokrasi yang bersih, atau sekadar berpura-pura demokratis?
Bagi dunia pendidikan, film ini menjadi momentum penting untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab warga negara.
Karena pada akhirnya, pemilu yang bersih hanya bisa lahir dari rakyat yang sadar dan berani menuntut kebenaran.

Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...