Skip to main content

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

"Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?"
Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI.
Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman.

Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu
Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan referensi, lengkap dengan ilustrasi, video, hingga simulasi interaktif.
Namun, di sinilah letak perbedaan fundamental: teknologi bisa memberi informasi, tetapi hanya guru yang bisa memberi makna. Informasi hanyalah data mentah; pengetahuan adalah informasi yang diolah dengan nilai, konteks, dan kebijaksanaan. Itulah ruang yang tidak bisa digantikan mesin.

AI dan Kelas Digital: Tantangan Baru Bagi Guru
Hadirnya AI di ruang kelas membawa peluang sekaligus tantangan. Misalnya, siswa kini dapat menggunakan ChatGPT untuk menyusun esai, mengerjakan soal, atau mencari ringkasan buku. Bagi guru, ini berarti metode evaluasi harus berubah. Tidak cukup lagi mengandalkan tes hafalan atau tugas esai standar. Guru ditantang merancang pembelajaran berbasis kreativitas, pemecahan masalah, dan pengalaman nyata.
Di sisi lain, AI bisa menjadi mitra strategis guru. Bayangkan guru matematika yang terbantu oleh aplikasi AI untuk membuat soal adaptif sesuai kemampuan murid; atau guru bahasa yang menggunakan AI untuk memberikan umpan balik instan pada tulisan siswa. Dalam konteks ini, AI bukan pesaing, melainkan “asisten digital” yang memperluas daya jangkau pengajaran.

Kompetensi Digital: Jalan yang Tak Bisa Dihindari
Sayangnya, tidak semua guru siap dengan lompatan teknologi ini. Survei Kemendikbudristek beberapa tahun terakhir menunjukkan kesenjangan besar dalam literasi digital guru. Banyak guru masih gagap menggunakan Learning Management System (LMS), apalagi mengintegrasikan AI dalam pembelajaran.
Jika kondisi ini dibiarkan, jurang digital akan semakin lebar: di satu sisi ada siswa yang melek teknologi dengan cepat, di sisi lain ada guru yang tertinggal jauh. Maka, peningkatan kompetensi digital guru harus ditempatkan sebagai prioritas, bukan sekadar program tambahan.
Pelatihan guru juga harus dirombak. Tidak lagi sekadar mengajarkan penggunaan aplikasi, tetapi membekali guru dengan keterampilan pedagogi digital: bagaimana mengkurasi materi daring, memandu diskusi virtual, memanfaatkan AI secara etis, serta mengembangkan pembelajaran berbasis proyek yang relevan dengan kehidupan nyata siswa.

Guru Sebagai Kurator dan Mentor
Dalam era digital, guru tidak lagi sekadar penyampai materi, melainkan kurator pengetahuan. Tugas guru adalah memilah informasi yang benar, relevan, dan sesuai konteks budaya lokal. Dengan lautan informasi yang melimpah, justru semakin besar risiko anak tersesat dalam misinformasi dan disinformasi.
Lebih jauh, guru berperan sebagai mentor kehidupan. AI bisa menjelaskan rumus fisika, tetapi AI tidak bisa menenangkan murid yang cemas menghadapi ujian. AI bisa menganalisis teks, tetapi AI tidak bisa menumbuhkan rasa empati atau membangun karakter. Peran inilah yang membuat guru tetap tak tergantikan.

Perbandingan Internasional: Belajar dari Finlandia dan Singapura
Beberapa negara telah lebih dulu menata ulang peran guru di era digital. Finlandia, misalnya, tidak menekankan hafalan materi, melainkan melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Guru diberi keleluasaan tinggi untuk berinovasi dalam kelas.
Di Singapura, pemerintah menyiapkan program SkillsFuture for Educators yang mendorong guru menguasai kompetensi digital terbaru, termasuk pemanfaatan AI. Guru bukan hanya mengikuti pelatihan, tetapi juga didukung oleh ekosistem digital yang terintegrasi, sehingga administrasi bisa ditekan dan fokus utama tetap pada proses belajar.
Indonesia bisa belajar banyak dari dua model ini: kepercayaan pada guru seperti di Finlandia, serta ekosistem pendukung yang solid seperti di Singapura.

Risiko: Ketimpangan Digital dan Kelelahan Guru
Meski peluangnya besar, risiko juga mengintai. Pertama, ketimpangan digital. Tidak semua sekolah memiliki akses internet stabil, perangkat memadai, atau literasi digital yang merata. Jika dibiarkan, digitalisasi justru memperlebar kesenjangan pendidikan.
Kedua, kelelahan digital (digital fatigue). Guru dituntut menguasai teknologi, menyusun materi digital, sekaligus menghadapi tuntutan administratif yang belum berkurang. Tanpa manajemen beban kerja yang baik, digitalisasi bisa membuat guru semakin letih, bukan semakin produktif.

Jalan ke Depan: Memerdekakan Guru di Era Digital
Jika kita serius menyiapkan guru menghadapi era digital dan AI, ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh:
• Membangun Ekosistem Digital yang Terintegrasi.
Pemerintah harus menyediakan platform terpadu yang sederhana, hemat waktu, dan ramah pengguna. Satu pintu lebih baik daripada puluhan aplikasi yang membingungkan.
• Pelatihan Berbasis Kebutuhan Nyata.
Pelatihan guru harus kontekstual: bukan sekadar “cara mengoperasikan aplikasi”, tetapi “bagaimana AI membantu pembelajaran kreatif”.
• Etika Digital dalam Pendidikan.
Guru perlu dibekali pedoman etis penggunaan AI. Siswa harus diajarkan bahwa AI adalah alat bantu, bukan pengganti daya pikir kritis manusia.
• Insentif dan Dukungan Psikososial.
Guru yang bersedia bereksperimen dengan teknologi perlu diapresiasi, bukan malah dibebani. Dukungan psikologis juga penting agar guru tidak merasa terasing di tengah perubahan.
• Kolaborasi dengan Dunia Industri dan Komunitas.
Dunia digital bergerak cepat. Kolaborasi antara sekolah, perguruan tinggi, dan industri teknologi menjadi kunci agar guru tidak tertinggal tren.

Penutup: Guru, Teknologi, dan Masa Depan
Teknologi digital dan AI memang mengubah wajah pendidikan. Tetapi, teknologi hanyalah alat. Tanpa guru yang berdaya, berpengetahuan, dan berkarakter, teknologi bisa kehilangan arah.
Mungkin benar, murid di masa depan bisa belajar matematika lewat aplikasi pintar, atau menulis esai dengan bantuan AI. Namun, mereka tetap membutuhkan sosok guru yang bisa berkata: “Aku percaya kamu bisa, mari kita berjuang bersama.”
Di era digital ini, guru bukan profesi yang usang. Justru sebaliknya: guru adalah profesi yang semakin penting, karena hanya manusialah yang bisa mendidik manusia menjadi manusia seutuhnya.

Popular posts from this blog

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...