Hujan turun berhari-hari. Tanah menjadi jenuh, sungai meluap, rumah-rumah di tepi bantaran roboh seperti gigi rapuh yang tak sempat dirawat. Anak-anak berlari membawa ember, menampung air yang bocor dari atap seng, dan seorang ibu menatap dengan wajah pasrah: bukan pada air, tapi pada nasib yang entah kapan berhenti menetes seperti itu. Di luar sana, suara sirene meraung, dan kamera-kamera mulai berdatangan. Mereka yang dulu jarang lewat gang sempit kini datang dengan rompi dan kamera besar, merekam setiap genangan, setiap tangis, setiap tubuh yang menggigil.
Begitulah musim hujan di negeri ini—bukan hanya musim air, tapi juga musim empati yang dijual per kilo. Di antara lumpur dan reruntuhan, berdiri orang-orang yang tahu betul bahwa duka adalah bahan siaran yang laku, bahwa air mata bisa menjadi pembuka berita yang mengundang klik, bahwa bencana adalah musim panen bagi mereka yang hidup dari citra iba.
Para penjual penderitaan muncul dari berbagai arah. Ada yang datang dengan kamera, ada yang datang dengan spanduk partai, ada pula yang datang dengan mikrofon dan senyum sedekah. Mereka berbicara tentang kemanusiaan dengan suara serak dan mata berkaca-kaca, tapi langkahnya diatur oleh kalkulasi. Mereka tahu kapan harus menunduk, kapan harus memeluk korban di depan kamera, kapan harus berkata “kami akan bantu” dan kapan harus pergi setelah berita selesai tayang. Di balik semua itu, penderitaan yang nyata perlahan berubah menjadi latar—bukan tujuan, melainkan dekorasi dari pertunjukan moral.
Banjir datang, longsor terjadi, dan narasi pun dimulai: “Lihatlah betapa berat hidup mereka.” Kalimat itu menggugah simpati, tapi juga menjual rasa iba. Rakyat kecil yang kehilangan rumah menjadi wajah depan dari berita yang menenangkan nurani penonton kota. Mereka menjadi cermin bagi yang beruntung, bahan untuk merasa masih manusia di tengah kesibukan digital. Namun di sisi lain, wajah-wajah itu juga menjadi komoditas—dipotret dari dekat, diperbesar, disebarkan, dan diukur nilai kliknya.
Zaman ini telah mengajari kita cara baru untuk bersedih. Dulu, orang datang membawa makanan, selimut, dan doa. Kini, orang datang membawa kamera, ponsel, dan paket data. Dulu, bencana membuat manusia saling memeluk. Kini, bencana membuat manusia saling merekam. Ada tangan yang benar-benar membantu, tapi ada lebih banyak tangan yang sibuk mencari sudut paling dramatis untuk story dan caption.
Bahkan penderitaan pun kini harus memiliki estetika: pencahayaan lembut, ekspresi tepat, latar yang menyentuh hati. Orang-orang yang kehilangan tempat tinggal diposisikan seperti aktor dalam film dokumenter murah, di mana sutradaranya adalah algoritma media sosial. Setiap air mata harus terlihat jelas, setiap luka harus tampak memilukan, setiap adegan harus menggugah emosi publik yang kelelahan tapi masih ingin merasa baik.
Namun siapa yang benar-benar menampung air mata mereka setelah kamera mati? Siapa yang mengeringkan tubuh-tubuh yang menggigil setelah sorotan lampu padam? Tidak banyak. Karena bagi sebagian orang, penderitaan hanya berharga selama masih bisa ditonton. Setelah itu, ia menjadi beban yang harus segera dilupakan agar ruang memori bisa diisi dengan kisah tragis berikutnya.
Di musim hujan ini, ada banyak korban. Tapi korban terbesar mungkin bukan mereka yang rumahnya hanyut, melainkan mereka yang penderitaannya dijadikan alat. Mereka kehilangan bukan hanya harta, tapi juga martabat. Sebab di tangan para penjual penderitaan, kemanusiaan berubah menjadi bahan dagangan, dan kesedihan menjadi alat promosi.
Di televisi, berita banjir disajikan dengan musik sendu dan pengantar yang bergetar. Di media sosial, video tentang anak kecil yang menggigil tanpa selimut diunggah dengan emoji menangis dan kalimat “semoga pemerintah cepat turun tangan.” Ribuan orang menonton, membagikan, lalu melanjutkan hidup seperti biasa. Sementara anak itu tetap di tempat yang sama, di bawah atap yang sudah tak ada, dengan perut kosong yang masih menunggu hujan reda.
Dalam politik, pola itu tak jauh berbeda. Penderitaan rakyat menjadi latar yang indah untuk orasi. Di panggung-panggung, mereka yang haus kekuasaan bicara tentang nasib wong cilik, meneteskan air mata palsu sambil menyebut kata “keadilan” seolah itu mantra sakral. Mereka mendekati korban dengan kamera menyala, merangkul mereka di depan wartawan, lalu meninggalkan mereka dalam lumpur yang sama.
Mereka datang bukan membawa solusi, melainkan membawa naskah. Sebab di negeri ini, politik pun telah belajar dari dunia digital: tanpa visual penderitaan, janji perubahan tak akan laku.
Dan rakyat, yang lelah dan lapar, kembali menjadi figuran. Mereka duduk di tengah panggung, diapit kamera dan spanduk, menjadi bukti hidup bahwa sistem masih gagal menyejahterakan. Tapi mereka jarang diajak bicara tentang sebab-sebab penderitaan itu, karena yang dijual bukan akar masalahnya, melainkan citra belas kasihan.
Di sinilah ironi itu tumbuh: semakin banyak penderitaan ditampilkan, semakin sedikit yang benar-benar diubah.
Namun tak semua penjual penderitaan datang dengan niat jahat. Ada yang memulai dengan niat tulus—ingin membantu, ingin membangkitkan kesadaran. Tapi dalam perjalanan, ketulusan itu tergoda oleh sorotan. Ada pujian yang datang, ada angka penonton yang naik, ada tawaran sponsor yang menunggu. Dan tanpa sadar, empati itu mulai berubah menjadi strategi.
Kamera tak lagi diarahkan pada korban, tapi pada diri sendiri yang sedang menolong korban.
Bantuan bukan lagi untuk mereka yang membutuhkan, tapi untuk membangun citra diri.
Dan di situlah batas antara kemanusiaan dan kepentingan menjadi kabur seperti jalan desa yang terendam lumpur.
Musim hujan selalu menjadi ujian bagi negeri ini: bukan hanya ujian infrastruktur, tapi ujian nurani. Setiap kali banjir datang, kita akan tahu seberapa dalam empati masih hidup, atau seberapa dangkal ia telah dikomersialisasi. Kita akan melihat siapa yang datang membawa selimut, dan siapa yang datang membawa tripod.
Dan tahun demi tahun, ujian itu tampaknya selalu gagal kita lewati.
Di setiap bencana, muncul gelombang kepedulian yang cepat datang dan cepat pula menghilang. Media ramai beberapa hari, tagar berganti tiap pekan, dan janji-janji bantuan tersapu begitu air surut. Yang tertinggal hanyalah endapan: bukan hanya lumpur, tapi rasa jenuh melihat kemanusiaan diperlakukan seperti iklan yang terus diulang.
Kita hidup di masa ketika kesedihan sudah menjadi rutinitas, dan penderitaan sudah menjadi konten yang aman untuk dikonsumsi sebelum tidur.
Namun, mungkin akar dari semua ini lebih dalam dari sekadar keserakahan atau kalkulasi politik. Barangkali manusia modern telah kehilangan sesuatu yang dulu sangat sederhana: rasa malu di hadapan penderitaan orang lain.
Dulu, ketika seseorang jatuh tertimpa musibah, orang lain menunduk, menjaga jarak dengan hormat. Kini, orang-orang berlari mendekat sambil menyalakan kamera.
Dulu, air mata adalah hal yang sakral—tanda kehadiran rasa yang tak bisa dibeli. Kini, air mata menjadi efek visual yang bisa ditambahkan lewat filter.
Dan tanpa kita sadari, penderitaan kehilangan kesuciannya. Ia tidak lagi mengundang keheningan, tapi tepuk tangan. Tidak lagi menimbulkan keinginan untuk memperbaiki dunia, tapi cukup untuk mempercantik feed.
Kita menjadi bangsa yang mudah terharu tapi sulit bergerak; mudah menangis tapi tak mau kotor tangan; mudah bersedih tapi enggan berubah.
Sementara itu, para penjual penderitaan terus tumbuh. Mereka membuka toko di mana-mana: di media, di politik, di panggung amal, di ruang rohani, bahkan di dunia pendidikan. Mereka menjual rasa kasihan dalam kemasan moral, dan kita membeli tanpa sadar. Mereka menjual duka agar kita merasa masih punya hati, padahal hati itu sudah lama terkikis oleh kebiasaan menonton tanpa berbuat.
Hujan akan berhenti. Air akan surut. Rumah-rumah mungkin dibangun kembali, jalan-jalan dibersihkan, dan berita tentang bencana akan tenggelam digantikan oleh berita baru. Tapi para penjual penderitaan tidak akan berhenti. Mereka hanya menunggu musim berikutnya, ketika hujan datang lagi, ketika tangis baru terdengar, ketika penderitaan segar siap dijadikan cerita.
Dan mungkin, kita semua—tanpa sadar—telah menjadi bagian dari pasar itu.
Kita menonton, kita membagikan, kita merasa peduli, lalu kita melupakan.
Kita membeli potongan-potongan penderitaan untuk menutupi kekosongan di dalam diri.
Kita ikut menukar rasa kemanusiaan dengan kepuasan kecil bahwa kita masih bisa berempati, meski hanya lewat layar.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: di antara lumpur, air mata, dan citra kemanusiaan yang dijual murah, di manakah hati kita sebenarnya berdiri?
Apakah kita masih punya keberanian untuk menolong tanpa disaksikan, menangis tanpa merekam, mencintai tanpa tanda pagar?
Karena jika tidak, kita semua akan menjadi pedagang di pasar yang sama—pasar di mana duka dijual seperti barang diskon, dan kemanusiaan dilelang kepada siapa pun yang sanggup menawar paling tinggi.
Dan bila hari itu tiba sepenuhnya, ketika setiap empati butuh bukti visual, maka hujan tak lagi sekadar membawa air dari langit—ia juga akan membawa kabar duka bahwa kita telah kehilangan cara untuk menjadi manusia.
Penulis: Syamsul Maarif, SS., M.Pd
