Skip to main content

Nggragas

Ada satu kata Jawa yang sederhana namun penuh tenaga: nggragas. Dalam mulut orang Jawa, kata ini sering diucapkan dengan sedikit getar nada jijik. Nggragas bukan sekadar rakus—ia lebih dalam, lebih licik, lebih membahayakan. Ia bukan hanya soal perut yang tak tahu kenyang, tapi juga tentang hati yang menolak puas, tentang nafsu yang menelan akal sehat. Dalam dunia yang serba dibungkus kepalsuan hari ini, nggragas menjelma menjadi wajah keseharian bangsa.
Aku lahir dan besar di kampung. Di sana, rakus terlihat sederhana: orang yang makan paling banyak di kenduri, atau anak kecil yang menimbun jajanan tanpa mau berbagi. Tapi di kota—ah, di kota, nggragas menjelma dalam bentuk yang lebih halus dan berbahaya. Ia duduk di kursi empuk kantor pemerintah, berdasi, berbicara tentang moral dan nasionalisme, sambil menandatangani surat proyek dengan angka-angka yang melebihi imajinasi rakyat kecil.
Nggragas adalah penyakit lama. Ia sudah ada sejak zaman raja-raja, sejak manusia pertama kali mengenal kekuasaan. Tapi entah mengapa, di negeri ini, penyakit itu seolah diwariskan dengan bangga. Setiap generasi penguasa selalu punya cara baru untuk menutupi kerakusannya dengan selubung kata “pengabdian”. Yang berganti hanya bungkusnya: dulu mungkin keris dan blangkon, sekarang jas dan pin emas. Tapi isi dadanya tetap sama: haus kekuasaan.

Kita mungkin sering menggerutu dengan teman-teman di sekitar kita yang berprilaku nggragas, mungkin teman seperjuangan, sepergerakan, seorganisasi, sekelompok, atau bahkan mungkin segrup.

Aku teringat pada seorang teman. Dulu Ia tidak pandai bicara, tapi punya wajah teduh dan tangan yang ringan menolong. Kalau ada warga yang kesulitan, ia datang, bukan dengan janji, melainkan dengan datang membawa sesuatu yang dibutuhkan. Ia tahu betul arti tanggung jawab. 
Tapi begitu menjabat, mereka berubah. Ladang yang dulu hijau kini ditimbun batu,, dan rumah makin megah.
Orang kampung berkata pelan, “Nggragas”
Dan kata itu menggema lebih keras dari doa malam Jumat.
Nggragas bukan hanya soal mengambil yang bukan haknya. Ia juga soal kehilangan rasa cukup. Rasa cukup itu, kata orang tua dulu, adalah inti dari kebahagiaan. Tapi kini, rasa cukup dianggap tanda kelemahan. Di televisi, di media sosial, di baliho kampanye, kita diajari bahwa sukses berarti punya lebih banyak—lebih tinggi jabatan, lebih besar mobil, lebih luas tanah. Bahkan ibadah pun kini dihitung-hitung: siapa yang sedekah paling banyak, siapa yang umrahnya paling sering. Tuhan pun seakan jadi alat untuk memamerkan keberhasilan duniawi.
Di negeri yang konon religius ini, nggragas tidak dianggap dosa besar. Ia justru dihalalkan dengan doa pembuka rapat, disucikan dengan tanda tangan di atas materai, dan dirayakan dengan potong pita peresmian proyek. Korupsi menjadi semacam pesta sunyi yang berlangsung di ruang ber-AC, jauh dari teriakan pasar dan debu sawah. Sementara rakyat kecil hanya jadi penonton, menatap layar televisi sambil berkata, “Kapan giliran kita?”
Aku sering berpikir, mungkin nggragas lahir dari luka. Luka karena terlalu lama dijajah, terlalu sering merasa kekurangan. Maka ketika kesempatan datang, manusia berubah jadi serigala. Ia menggigit, mengoyak, dan menelan tanpa henti, seolah dunia akan habis besok pagi. Tapi luka yang tak disembuhkan dengan kesadaran akan melahirkan kerakusan yang tak berujung. Maka, negeri ini terus berputar di lingkaran yang sama: penguasa datang dengan janji reformasi, tapi pergi dengan koper penuh gratifikasi.
Beberapa waktu lalu, aku membaca berita tentang pejabat yang menggelapkan dana bantuan sosial. Katanya untuk rakyat miskin. Tapi rakyat itu hanya dapat sekantong beras yang tak sampai dua kilo. Sementara ia membeli mobil baru, tersenyum di depan kamera dengan pakaian safari dan kopiah hitam. Saat ditanya wartawan, ia menjawab dengan tenang: “Semua sudah sesuai prosedur.”
Ah, betapa licin bahasa manusia nggragas. Mereka pandai merangkai kalimat untuk menutupi bau busuk dari dapurnya sendiri. Hukum pun tunduk pada mereka yang punya uang. Hakim bisa disuap, saksi bisa dibungkam, berita bisa dibengkokkan. Di negeri ini, kebenaran sering kalah oleh amplop cokelat.
Tapi nggragas bukan hanya milik pejabat. Ia juga hidup di diri kita, rakyat kecil, yang sering iri melihat tetangga lebih makmur. Kita mencontek, mencurangi, memanipulasi data, menipu pelanggan, mengelabui teman, hanya demi keuntungan sedikit lebih banyak. Kita mungkin mengutuk koruptor di televisi, tapi diam-diam juga mengambil kertas kantor untuk kepentingan pribadi. Nggragas telah menjadi cara berpikir, bukan sekadar tindakan.
Sebenarnya, nggragas adalah bentuk ketakutan. Takut miskin, takut kalah, takut tak dianggap. Maka manusia berusaha menimbun apa pun yang bisa diraih, entah uang, jabatan, atau pengaruh. Ia lupa bahwa tak ada yang benar-benar dimiliki. Semua hanya titipan waktu. Tapi siapa yang mau mendengar nasihat semacam itu di zaman yang mengukur nilai manusia dari saldo rekening?
Aku pernah berbincang dengan seorang kiai sepuh. Katanya pelan, “Manusia nggragas itu seperti sumur yang bocor. Air sebanyak apa pun dimasukkan, takkan pernah penuh.” Aku tersenyum getir. Mungkin karena aku pun pernah merasakan bocornya sumur itu di dada sendiri—ketika merasa kurang, padahal punya cukup. Dan di titik itulah aku sadar, nggragas adalah bentuk kemiskinan jiwa. Orang nggragas sebenarnya bukan kaya, tapi justru paling miskin. Ia tak punya rasa syukur.
Negeri ini sesungguhnya tidak kekurangan sumber daya, melainkan kekurangan rasa malu. Rasa malu untuk mencuri, untuk menipu, untuk menindas. Dahulu, orang Jawa percaya bahwa aib lebih berat dari kematian. Sekarang, aib bisa dibersihkan dengan sedikit pencitraan dan satu-dua baliho besar. Pejabat yang tertangkap korupsi bisa tampil lagi di televisi, bicara tentang moral bangsa dengan wajah tanpa dosa. Kita hidup di zaman ketika nggragas bukan lagi kejahatan, tapi strategi bertahan.
Lihat saja, bagaimana sebagian elit berebut jabatan, bahkan setelah usia senja. Mereka menolak pensiun, seolah kekuasaan adalah oksigen terakhir yang membuat mereka hidup. Mereka bicara tentang pengabdian, tapi sesungguhnya takut kehilangan panggung. Rakyat hanya jadi latar, alat legitimasi bagi ambisi yang tak pernah padam. Dalam diam, sejarah menertawakan mereka.
Di tengah hiruk-pikuk itu, aku selalu teringat pada filosofi lama dari kakekku: urip kuwi mung mampir ngombe—hidup itu hanya singgah untuk minum. Tapi kini, orang ingin bukan sekadar minum. Mereka ingin menenggak, menimbun, bahkan menelan seluruh sungai. Padahal, di ujung hidup, semua harus dikembalikan juga: tanah, harta, jabatan, bahkan nama baik.
Barangkali, jika bangsa ini ingin sembuh, yang perlu diajarkan bukan lagi teori ekonomi atau strategi politik, melainkan ajaran tentang rasa cukup. Sebab nggragas adalah lawan dari cukup. Dan selama rasa cukup belum menjadi budaya, kita akan terus melahirkan generasi yang nggragas—dalam politik, dalam agama, bahkan dalam cinta.
Malam ini, aku menulis di bawah cahaya lampu yang temaram. Di luar, suara kampanye masih terdengar. Seseorang berteriak lewat pengeras suara, menjanjikan perubahan, kesejahteraan, dan keadilan sosial. Aku mendengarkan, tapi dalam hati aku bertanya: apakah ia benar-benar ingin melayani, atau hanya ingin menambah daftar panjang manusia nggragas yang lahir dari rahim bangsa yang belum sembuh dari tamak?
Aku teringat dulu wajah-wajah petani di desa—kulit mereka legam, tangan mereka keras, tapi hati mereka tenang. Mereka tidak punya banyak, tapi tidur nyenyak. Tak ada yang lebih berharga dari itu. Tapi itu dulu., loh. Entah sekarang.
Sementara di kota, banyak orang berjas yang gelisah di kasur empuk, karena hatinya dililit rasa kurang. Di situlah batas tipis antara manusia yang merdeka dan yang diperbudak nafsu.
Nggragas adalah tanda zaman. Tapi selama masih ada orang jujur yang berani hidup sederhana, selama masih ada yang menolak ikut pesta kerakusan itu, harapan belum mati. Mungkin kelak, sejarah akan berbalik. Dan ketika itu tiba, kata nggragas akan kembali menjadi hina, seperti seharusnya.

Essai Syamsul Maarif

Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...