Skip to main content

NGLUNGSUMI

Di kampung-kampung Jawa, orang sering memakai kata “nglungsumi” untuk menggambarkan ular yang sedang berganti kulit. Lapisan lama terkelupas, jatuh di semak, sementara sang ular melenggang dengan kulit baru yang lebih mengilap. Alam memaknai ini sebagai siklus hidup: bertumbuh, memperbarui diri, menyesuaikan dengan perubahan.

Namun dalam kehidupan manusia, kata itu tak selalu bermakna demikian indah. Di warung-warung pagi, di teras masjid selepas magrib, atau di bawah pohon sawo tempat orang menunggu angkot, “nglungsumi” menjadi sindiran halus untuk menggambarkan perubahan perilaku seseorang setelah menerima amanah, jabatan, atau kuasa. Sebuah perubahan yang bukan tumbuh ke dalam, melainkan menebalkan kulit luarnya saja.

Di banyak desa Jawa, kita mengenal orang yang dulu biasa saja: nongkrong di pos ronda, ikut kerja bakti tanpa perlu undangan, menaruh wajah teduh saat berbicara pada tetangga. Tetapi ketika kekuasaan menempel di badannya—entah sebagai ketua RT, anggota panitia, staf kelurahan, atau pejabat yang lebih tinggi—tiba-tiba ia seperti ular yang baru menanggalkan kulit. Lembut di luar, licin di dalam.

Ada seorang tokoh fiktif, sebut saja Karyo, yang sering jadi bahan obrolan warga. Dulu ia dikenal ringan tangan. Bila ada warga terjerat musibah, ia datang membawa tenaga, bukan amplop proposal. Bila ada pertengkaran kecil antarwarga, Karyo hadir sebagai penenang. Ia tidak banyak bicara, namun telinganya peka terhadap keluh orang lain.

Tetapi semuanya berubah ketika ia terpilih menjadi perangkat desa. Orang dulu percaya, jabatan itu seperti tikar pandan: siapa pun boleh mendudukinya asal mau menjaga seratnya tetap lurus. Namun pada Karyo, jabatan itu menjadi semacam kulit baru yang memaksanya menengok cermin lebih sering daripada memeriksa hati. Ia mulai berhitung pada warga, memandang siapa yang bisa memberi apa. Jalan tegak gumun yang dulu ia lalui kini ia lewati sambil angkuh; tangan yang dulu akrab menjabat kini hanya bergerak jika ada kamera.

“Wah, Karyo wis nglungsumi,” kata seorang petani sambil membalik tanah sawahnya.
“Iyo, saiki kulit anyaré luwih nggilap, nanging atiné kok katon peteng,” timpal yang lain.

Di Jawa, sindiran itu bukan untuk mempermalukan. Ia adalah cara halus untuk memberi cermin tanpa harus mengetuk keras. Orang Jawa percaya: bila diingatkan dengan sopan, hati manusia masih mungkin luluh seperti tanah terkena hujan pertama.

Sayangnya, sebagian orang yang nglungsumi tidak sadar bahwa kulit barunya hanya menutupi rapuhnya batin. Mereka sibuk memoles citra, menambah lapisan formalitas, dan mengatur jarak dengan warga. Mereka lupa bahwa jabatan di kampung bukanlah panggung megah, melainkan ladang yang butuh diwengu—dirawat—dengan tulus.

Di sebuah malam Jumat, Karyo duduk di langgar kecil desanya. Masih memakai baju dinas, lengkap dengan pin emas yang baru seminggu ia pesan dari kota. Dalam gelap, ia melihat anak-anak mengaji, suara mereka patah-patah namun jujur. Di situ, ia tiba-tiba teringat masa ketika dirinya sebesar mereka: lugu, kurus, dan percaya bahwa hidup adalah perkara menolong sesama.

Bila cerita ini berhenti di sini, mungkin pembaca berharap ada kesadaran yang tumbuh, kulit yang terkelupas bukan karena gengsi, melainkan karena tekad untuk kembali menjadi manusia merdeka. Tapi kehidupan tidak selalu berjalan serapi harapan kita. Sebagian orang memang terus berganti kulit tanpa pernah mengganti sikap. Ada yang merasa lebih tinggi dari tanah yang menghidupinya. Ada yang silau oleh sinar kuasa sehingga lupa bahwa kulit, seberapa pun indahnya, tetaplah hanya pembungkus.

Namun masyarakat Jawa punya cara menjaga kewarasan: dengan humor yang halus, sindiran yang lembut, dan doa yang pelan. Mereka tahu, pada akhirnya, yang dihitung bukan kulit baru yang memperindah penampilan, tetapi bagaimana seseorang merawat tanah kelahirannya.

Maka bila suatu saat Anda mendengar seorang ibu tua di pasar berkata,
“Wong kuwi kok yo nglungsumi…”
ketahuilah bahwa kalimat itu lebih dalam daripada sekadar cemooh. Ia adalah harapan agar manusia, terutama mereka yang diberi amanah, selalu ingat bahwa kekuasaan bukanlah alasan untuk berganti kulit, melainkan kesempatan untuk menebalkan kebaikan.

Dan semoga, di kampung mana pun di Jawa, kita masih punya cukup banyak orang yang memilih menumbuhkan hati, bukan sekadar memoles kulitnya.

Esai: Syam

Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...