Pada 10 November 2025, tepat di Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto menandatangani keputusan yang menetapkan Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia, sebagai Pahlawan Nasional.
Berita itu mengguncang ruang publik, memunculkan tepuk tangan dan seruan keberatan dalam napas yang sama.
Sebagian masyarakat menganggap keputusan itu sudah lama pantas. Bagi mereka, Soeharto adalah arsitek pembangunan, pemimpin yang mengangkat bangsa dari krisis dan membawa Indonesia menuju kestabilan.
Namun bagi sebagian lain, keputusan itu terasa seperti membuka kembali luka lama — luka tentang kekerasan, pembungkaman, dan ketidakadilan yang belum pernah benar-benar disembuhkan.
Kini, perdebatan tentang “apakah Soeharto layak menjadi pahlawan” tak lagi relevan.
Ia sudah resmi menjadi pahlawan nasional.
Pertanyaannya bergeser: apa arti kata “pahlawan” setelah keputusan ini diambil?
--
Tak ada yang bisa menampik bahwa Soeharto memiliki jasa besar bagi negeri ini.
Ia menata ekonomi pasca-1965 yang kacau, menurunkan inflasi dari 600 persen, memperkuat stabilitas politik, dan meluncurkan program pembangunan jangka panjang (Repelita) yang mengubah wajah Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencapai swasembada pangan tahun 1984, mendirikan ribuan sekolah dasar, puskesmas, jalan desa, hingga waduk. Ia dipuji oleh lembaga internasional sebagai pemimpin Asia yang mampu menyeimbangkan modernisasi dan ketertiban.
Namun sejarah tidak pernah satu warna.
Di balik pembangunan yang megah, terhampar catatan kelam:
penahanan dan pembunuhan massal pasca-1965, kekerasan militer di Timor Timur, Tanjung Priok, dan Talangsari; pembungkaman kebebasan berpendapat; serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menumpuk selama 32 tahun kekuasaan.
Bagi sebagian rakyat, Soeharto adalah simbol kestabilan.
Bagi yang lain, ia adalah simbol ketakutan.
Dan kini, ketika negara menahbiskannya sebagai pahlawan, dua ingatan itu berdiri saling berhadapan — antara rasa hormat dan luka sejarah.
---
Gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan administratif; ia adalah narasi moral yang disahkan negara.
Begitu seorang tokoh dianugerahi gelar itu, bangsa seolah berkata: “Kami telah menilai, dan ia layak dikenang dengan hormat.”
Namun, apa arti penghormatan itu bila sebagian rakyat masih menyimpan trauma?
Apa makna keteladanan bila masih ada keluarga korban yang belum mendapat pengakuan, apalagi keadilan?
Dalam situasi seperti ini, gelar pahlawan bisa menjadi penanda kemenangan ingatan tertentu atas yang lain.
Yang diabadikan bukan hanya jasa, tapi juga tafsir — tafsir yang bisa menyingkirkan suara mereka yang pernah terpinggirkan.
Ketika negara memberi gelar pahlawan kepada Soeharto, yang disahkan bukan hanya namanya, tapi juga cara membaca sejarahnya.
Dan itu berarti: sejarah resmi Indonesia kini memilih untuk memaafkan sebelum memahami.
---
Selama bertahun-tahun, wacana penetapan Soeharto sebagai pahlawan muncul dan tenggelam.
Namun keputusan 2025 menandai berakhirnya perdebatan administratif — sekaligus membuka babak baru dalam perdebatan moral dan historis.
Kini, Soeharto tidak lagi menjadi isu. Ia telah menjadi fakta simbolik: disandingkan dengan nama-nama lain yang memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Namun fakta baru itu tak otomatis menghapus realitas lama.
Mereka yang kehilangan keluarga di tahun 1965 tidak tiba-tiba sembuh.
Para korban Timor Timur tidak serta-merta mendapat pengakuan.
Dan bangsa ini, meski semakin modern, masih belum memiliki mekanisme yang jujur untuk menimbang ulang masa lalunya.
Sejarah, rupanya, tidak selesai dengan penetapan gelar.
Ia justru dimulai kembali — dengan pertanyaan yang lebih dalam:
apa makna kepahlawanan di negeri yang belum berdamai dengan ingatannya sendiri?
---
Mungkin di sinilah makna paling getir dari peristiwa 10 November 2025 itu.
Soeharto kini telah resmi menjadi pahlawan nasional — tapi tidak akan pernah menjadi pahlawan bagi semua orang.
Setiap generasi memiliki pahlawannya sendiri.
Bagi mereka yang tumbuh di masa Orde Baru, Soeharto adalah bapak yang tegas, penyelamat dari kekacauan politik.
Namun bagi generasi reformasi, ia adalah simbol kekuasaan yang mengekang, yang mengajarkan bahwa ketertiban bisa menelan kebebasan.
“Pahlawanmu, bukan pahlawan mereka” — kalimat itu kini menjadi cermin bagi bangsa ini.
Ia menyingkap kenyataan bahwa makna kepahlawanan di Indonesia tidak tunggal.
Kita tak sepakat, karena kita belum menyatukan cara kita mengingat.
Selama sejarah masih ditulis dari kursi kekuasaan, bukan dari luka rakyat, maka pahlawan akan selalu menjadi milik sebagian orang.
---
Dunia memiliki Hadiah Nobel untuk mereka yang memberi manfaat bagi umat manusia. Indonesia memiliki gelar Pahlawan Nasional untuk mereka yang berjasa bagi bangsa.
Keduanya menilai jasa, tapi dengan tolok ukur yang berbeda.
Penerima Nobel diuji melalui dampak ilmiah dan sosial yang bisa diukur;
Pahlawan Nasional diukur melalui nilai moral, keteladanan, dan pengabdian.
Masalahnya, ketika seorang tokoh memiliki jasa sekaligus dosa, bangsa ini jarang memiliki keberanian untuk menilai secara utuh.
Kita mudah memaafkan, tapi sulit mengakui.
Kita cepat memberi gelar, tapi lambat membuka arsip sejarah.
Menjadikan Soeharto pahlawan bisa dipahami secara politis — tapi secara moral, keputusan ini akan terus menggantung di udara, menunggu generasi yang lebih jujur untuk menafsirkannya kembali.
---
Bangsa yang besar bukan bangsa yang cepat melupakan, tetapi yang berani mengingat.
Namun Indonesia sering memilih jalan mudah: melupakan demi harmoni, memaafkan tanpa penjelasan.
Padahal, rekonsiliasi sejati tidak bisa lahir tanpa kejujuran.
Kita bisa menghormati jasa Soeharto dalam pembangunan, tetapi juga harus berani mengakui kesalahannya dalam pelanggaran HAM.
Keduanya tidak perlu dipertentangkan — keduanya harus diingat bersamaan.
Seperti Jerman yang berani mengakui kejahatan Nazi tanpa menghapus tokoh-tokoh ilmuwannya,
atau Korea Selatan yang menilai ulang pemimpin otoriternya tanpa membuang sejarah kemajuannya,
Indonesia pun harus belajar membedakan antara menghargai dan mengkultuskan.
---
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan mungkin tak bisa diubah, tapi tafsir terhadapnya masih bisa dibuka.
Gelar negara tak akan menghapus rasa kehilangan para korban,
tapi bisa menjadi momentum bagi bangsa ini untuk menulis ulang sejarah secara lebih jujur dan utuh.
Kita bisa mulai dengan menghadirkan sejarah dari dua sisi:
dari ruang istana dan dari lorong penjara,
dari halaman istana yang subur dan dari ladang kering yang dipenuhi korban kekerasan.
Hanya dengan cara itu bangsa ini bisa belajar:
bahwa pembangunan tanpa kemanusiaan bukanlah kemajuan,
dan stabilitas tanpa keadilan bukanlah kedamaian.
---
Menguji Makna Pahlawan
Kini Soeharto telah resmi menjadi Pahlawan Nasional.
Namun sejarah tidak berhenti pada surat keputusan presiden.
Ia akan terus ditulis ulang, dibaca ulang, dan dinilai ulang oleh generasi yang lebih bebas dari beban politik masa lalu.
Sebab, pahlawan sejati tidak ditentukan oleh gelar negara, tetapi oleh bagaimana bangsa mengingatnya.
Apakah sebagai pembebas, atau sebagai penguasa;
sebagai teladan, atau sebagai pelajaran.
Barangkali di situlah ujian terbesar bangsa ini:
berani memisahkan antara penghormatan dan pengkultusan,
antara pengakuan dan penghapusan.
Maka biarlah sejarah mencatat dengan jujur —
bahwa pahlawan bagimu, belum tentu pahlawan bagi mereka.
Dan di ruang perbedaan itu, bangsa ini diuji:
apakah kita ingin menjadi bangsa yang memuja, atau bangsa yang belajar.
---
Tulisan ini dimaksudkan sebagai refleksi publik atas penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2025. Penulis percaya bahwa penghargaan sejati terhadap para tokoh bangsa bukan terletak pada gelar, melainkan pada keberanian kita untuk mengingat sejarah apa adanya — dengan segala jasanya, dan juga dengan segala lukanya.
