Skip to main content

Amarah Rakyat

Agustus 2025 menjadi saksi kebangkitan kemarahan rakyat yang tak tertahankan. Di tengah kota-kota besar Indonesia, suara teriakan “Polisi Pembunuh!” menggema, bercampur asap hitam dari gedung-gedung DPR dan kantor polisi yang dibakar. Rumah-rumah pejabat dijarah, mobil-mobil mewah dijadikan sasaran amukan massa. Ini bukan sekadar protes; ini ledakan frustrasi yang telah lama menumpuk.
Kemarahan rakyat bukan tanpa alasan. Banyak warga kini kesulitan mencari pekerjaan, sementara gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menambah jumlah pengangguran setiap hari. Harga kebutuhan pokok naik tanpa henti, sementara pejabat dan aparat hidup mewah, sering terlihat berfoya-foya di media sosial, tanpa rasa empati terhadap kesulitan rakyat.
Kenaikan tunjangan anggota DPR yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan dianggap simbol ketidakadilan paling nyata. Di mata rakyat, janji kesejahteraan hanyalah kata-kata kosong yang tak pernah terasa.
Insiden tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, menjadi titik didih. Diduga ditabrak kendaraan taktis polisi saat aksi protes damai di Jakarta, kematiannya viral dan menjadi simbol penindasan aparat. Dari sinilah, kemarahan rakyat tidak lagi bisa dibendung.
Dalam beberapa hari, protes menyebar ke seluruh penjuru negeri. Gedung DPRD di Makassar dan Denpasar dibakar. Kantor polisi dirusak. Rumah pejabat dijarah. Massa tidak hanya marah, tetapi juga menyerang simbol kekuasaan yang dianggap menindas mereka. Di jalanan, rakyat meneriakkan kemarahan mereka, sambil mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil.
Presiden Prabowo Subianto mengecam kekerasan dan memerintahkan penyelidikan atas kematian Affan Kurniawan serta penindakan terhadap pelaku kerusuhan. Namun, bagi banyak warga, langkah ini terlalu lambat, dan kemarahan yang sudah menumpuk tidak mudah reda. Rakyat menuntut keadilan yang nyata, bukan hanya kata-kata.
Kemarahan rakyat adalah refleksi dari ketimpangan sosial yang terus membesar. Mereka yang sehari-hari berjuang untuk hidup layak kini memandang pejabat dan aparat sebagai simbol ketidakadilan. Jika pemerintah ingin meredakan ketegangan, tindakan nyata harus segera dilakukan: pekerjaan, perlindungan sosial, dan akuntabilitas pejabat.
Kemarahan ini bukan sekadar amarah sesaat. Ia adalah cermin dari luka panjang yang telah lama diabaikan. Dan jika tidak direspons dengan serius, gelombang protes ini bisa-bisa berubah menjadi krisis sosial yang lebih besar.

Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Program Ketahanan Pangan Desa 2025: Antara Regulasi dan Realisasi di Brebes

Brebes, September 2025 – Program Ketahanan Pangan (Ketapang) Desa tahun anggaran 2025 yang digadang-gadang menjadi salah satu prioritas penggunaan Dana Desa sesuai amanat Permendes RI No. 2 Tahun 2024 hingga kini belum juga terealisasi di sejumlah desa di Kabupaten Brebes. Padahal, aturan tersebut secara tegas menyebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (4) bahwa program Ketapang wajib dialokasikan paling sedikit 20 persen dari pagu Dana Desa yang diterima pemerintah desa. Harapan dari Kebijakan Nasional Pemerintah pusat merancang program Ketapang sebagai salah satu langkah strategis dalam mewujudkan swasembada pangan nasional sekaligus mendukung agenda Makan Bergizi Gratis yang sedang digalakkan di berbagai tingkatan. Tujuan utama program ini bukan sekadar menjaga ketahanan pangan di tingkat lokal, tetapi juga memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan pengembangan kawasan pedesaan. Lebih lanjut, Permendes PDTT No. 3 Tahun 2025 menegaskan bahwa implementasi Ketapang harus ...