Skip to main content

Hegemoni Kekuasaan: Dominasi Ideologi dalam Masyarakat

  Hegemoni kekuasaan adalah konsep yang menjelaskan bagaimana kelompok dominan mempertahankan kontrolnya tidak hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan sosial dan budaya. Antonio Gramsci, seorang filsuf dan aktivis politik asal Italia, mengembangkan teori ini dengan menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui militer atau hukum, tetapi juga melalui kontrol terhadap ideologi, pendidikan, dan media.

Dalam kehidupan modern, hegemoni dapat dilihat dalam berbagai aspek, seperti politik, media, dan ekonomi. Artikel ini akan membahas bagaimana hegemoni bekerja dan memberikan contoh spesifik dari berbagai konteks sosial.

Pengertian Hegemoni Kekuasaan

Secara sederhana, hegemoni adalah dominasi suatu kelompok atas kelompok lain melalui persetujuan yang dibentuk secara ideologis, bukan hanya melalui paksaan. Menurut Gramsci, kelas penguasa tidak hanya mengendalikan sumber daya ekonomi tetapi juga membentuk cara berpikir masyarakat agar menerima sistem yang ada sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bisa diubah.

Misalnya, di banyak negara kapitalis, masyarakat cenderung percaya bahwa kesuksesan seseorang sepenuhnya bergantung pada kerja keras individu. Narasi ini membuat masyarakat menerima ketimpangan ekonomi sebagai hal yang alami, meskipun dalam kenyataannya banyak faktor struktural (seperti akses pendidikan dan modal) yang mempengaruhi kesuksesan seseorang.

Mekanisme Hegemoni dalam Masyarakat

Gramsci membedakan dua cara bagaimana kekuasaan dipertahankan:

1. Koersi (Paksaan)

Kekuasaan menggunakan alat-alat negara seperti polisi, militer, dan hukum untuk menekan perlawanan.

Contoh:

Di era Orde Baru Indonesia, pemerintah Soeharto menggunakan militer untuk membungkam kritik, menangkap aktivis, dan melarang organisasi yang dianggap menentang pemerintah.

Di Tiongkok, pemerintah mengontrol ketat akses internet dan media sosial untuk mencegah penyebaran informasi yang bisa mengancam stabilitas kekuasaan Partai Komunis.

2. Konsensus (Persetujuan Sosial melalui Ideologi)

Kekuasaan mempertahankan dominasinya dengan membentuk cara berpikir masyarakat melalui pendidikan, media, agama, dan budaya.

Contoh:

Media Massa sebagai Alat Hegemoni

Di Amerika Serikat, media sering kali menggambarkan kapitalisme sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sah, sementara sosialisme dan komunisme dicitrakan sebagai ancaman. Ini membuat masyarakat sulit membayangkan sistem ekonomi alternatif.

Di Indonesia, dalam beberapa dekade setelah peristiwa 1965, narasi sejarah tentang G30S/PKI dikendalikan oleh pemerintah, sehingga masyarakat percaya bahwa peristiwa tersebut adalah murni pemberontakan komunis tanpa mempertimbangkan perspektif lain.

Pendidikan sebagai Sarana Ideologis

Kurikulum sejarah di banyak negara sering kali disusun untuk memperkuat legitimasi pemerintah. Di Jepang, misalnya, beberapa buku pelajaran mengurangi atau bahkan menghilangkan pembahasan tentang kekejaman tentara Jepang selama Perang Dunia II untuk membentuk citra nasional yang lebih positif.

Agama dan Moralitas

Dalam beberapa negara, ajaran agama digunakan untuk memperkuat hegemoni kekuasaan. Misalnya, di Arab Saudi, hukum yang sangat konservatif digunakan untuk mempertahankan kekuasaan keluarga kerajaan dengan dalih menjalankan ajaran Islam.

Peran Intelektual dalam Hegemoni

Gramsci memperkenalkan konsep "intelektual organik", yaitu orang-orang yang berasal dari kelas bawah dan menyuarakan kritik terhadap sistem yang ada. Mereka berperan dalam membangun kesadaran kritis agar masyarakat tidak hanya menerima ideologi dominan secara pasif.

Sebaliknya, ada juga "intelektual tradisional", yaitu mereka yang bekerja dalam sistem yang ada, seperti akademisi, pejabat, dan pemuka agama yang sering kali memperkuat hegemoni kelas penguasa.

Contoh:

Intelektual Organik:

Malala Yousafzai dari Pakistan, yang menentang dominasi Taliban dan memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan.

Noam Chomsky, seorang akademisi yang sering mengkritik kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan pengaruh korporasi terhadap media.

Intelektual Tradisional:

Sejumlah media dan akademisi yang mendukung kebijakan neoliberal dengan alasan bahwa "pasar bebas adalah jalan terbaik bagi kesejahteraan ekonomi," meskipun ada banyak bukti bahwa sistem ini meningkatkan ketimpangan sosial.

Hegemoni dalam Konteks Modern

Hegemoni masih sangat relevan dalam dunia modern. Berikut adalah beberapa contoh nyata bagaimana hegemoni bekerja dalam kehidupan sehari-hari:

1. Hegemoni di Media Sosial

Algoritma media sosial seperti Facebook dan YouTube sering kali memperkuat wacana dominan. Misalnya, di negara-negara Barat, berita yang mendukung kapitalisme lebih banyak dipromosikan, sementara perspektif kritis terhadap sistem ekonomi sering kali tersingkir dari arus utama.

Di Indonesia, banyak akun buzzer digunakan untuk membentuk opini publik tentang isu-isu politik, sehingga masyarakat lebih mudah menerima kebijakan pemerintah tanpa kritik yang berarti.

2. Hegemoni dalam Budaya Populer

Hollywood sering kali menampilkan Amerika Serikat sebagai penyelamat dunia dalam film-film seperti Captain America atau Top Gun, sehingga memperkuat citra negara tersebut sebagai kekuatan moral global.

Industri kecantikan global mendorong standar kecantikan yang berbasis pada kulit putih dan tubuh langsing, sehingga banyak orang di negara berkembang merasa perlu menggunakan produk pemutih kulit atau operasi plastik untuk memenuhi standar ini.

3. Hegemoni dalam Dunia Kerja

Budaya kerja di banyak perusahaan besar sering kali mempromosikan hustle culture (kerja tanpa henti) sebagai sesuatu yang positif, sehingga para pekerja menerima jam kerja yang panjang sebagai hal yang normal, meskipun merugikan kesehatan mereka.

Di beberapa negara, serikat pekerja dilemahkan melalui regulasi yang ketat, sehingga pekerja kehilangan kemampuan untuk menuntut hak-hak mereka.

Kesimpulan

Hegemoni kekuasaan menunjukkan bahwa dominasi tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik, tetapi juga pada kontrol ideologi dan budaya. Dengan memahami bagaimana hegemoni bekerja, masyarakat dapat lebih kritis terhadap informasi yang diterima dan lebih sadar terhadap struktur kekuasaan yang ada.

Di era modern, hegemoni terus berkembang melalui media, pendidikan, dan ekonomi. Oleh karena itu, peran intelektual organik dan kesadaran kritis menjadi semakin penting dalam menciptakan perubahan sosial yang lebih adil.


Daftar Pustaka

1. Foucault, Michel. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. Edited by Colin Gordon. New York: Pantheon Books, 1980.

2. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. Edited and translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith. New York: International Publishers, 1971.

3. Laclau, Ernesto, & Mouffe, Chantal. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso, 1985.

4. Storey, John. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. 8th ed. London: Routledge, 2018.

5. Chomsky, Noam. Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda. New York: Seven Stories Press, 1997.

6. Said, Edward W. Orientalism. New York: Pantheon Books, 1978.

7. Lukes, Steven. Power: A Radical View. 2nd ed. New York: Palgrave Macmillan, 2005.

8. Kellner, Douglas. Media Culture: Cultural Studies, Identity, and Politics Between the Modern and the Postmodern. London: Routledge, 1995.

9. Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, 2005.

10. Holub, Renate. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. London: Routledge, 1992.





Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...

Amarah Rakyat

Agustus 2025 menjadi saksi kebangkitan kemarahan rakyat yang tak tertahankan. Di tengah kota-kota besar Indonesia, suara teriakan “Polisi Pembunuh!” menggema, bercampur asap hitam dari gedung-gedung DPR dan kantor polisi yang dibakar. Rumah-rumah pejabat dijarah, mobil-mobil mewah dijadikan sasaran amukan massa. Ini bukan sekadar protes; ini ledakan frustrasi yang telah lama menumpuk. Kemarahan rakyat bukan tanpa alasan. Banyak warga kini kesulitan mencari pekerjaan, sementara gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menambah jumlah pengangguran setiap hari. Harga kebutuhan pokok naik tanpa henti, sementara pejabat dan aparat hidup mewah, sering terlihat berfoya-foya di media sosial, tanpa rasa empati terhadap kesulitan rakyat. Kenaikan tunjangan anggota DPR yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan dianggap simbol ketidakadilan paling nyata. Di mata rakyat, janji kesejahteraan hanyalah kata-kata kosong yang tak pernah terasa. Insiden tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online b...