Tiga ahli hukum berbicara tanpa tedeng aling-aling tentang bagaimana kekuasaan memelintir aturan untuk memenangkan kontestasi politik.
Kini, hampir setahun berselang, Dirty Vote II (O³) hadir — lebih panjang, lebih berani, dan lebih getir.
Film ini bukan sekadar lanjutan, melainkan autopsi atas tubuh demokrasi Indonesia.
Ia menelanjangi relasi kuasa yang makin kompleks: “Otot, Otak, dan Ongkos” (O³) — tiga pilar yang kini menopang kekuasaan di republik ini.
Otot, Otak, dan Ongkos: Segitiga Besi Kekuasaan
Dandhy Dwi Laksono dan Watchdoc kembali memperlihatkan bagaimana demokrasi kita disandera oleh sistem yang tampak legal, tapi sarat manipulasi.
Otot melambangkan kekuatan koersif negara — aparat, lembaga penegak hukum, dan struktur birokrasi — yang bisa diarahkan untuk menekan atau mengamankan kepentingan tertentu.
Otak mewakili desain hukum dan regulasi yang disusun sedemikian rupa untuk memberi legitimasi pada praktik kekuasaan yang timpang.
Ongkos adalah darah yang mengalir di tubuh politik Indonesia: uang yang menyalakan mesin kampanye, membungkam kritik, dan membiayai loyalitas.
Ketiganya saling menopang.
Dan di antara simpul-simpul itu, rakyat menjadi penonton — bukan subjek demokrasi, melainkan sekadar alat legitimasi.
Dari Demokrasi ke Oligarki: Jalan yang Licin dan Sunyi
Dirty Vote II mengajak kita menengok kenyataan pahit: demokrasi Indonesia sedang kehilangan jiwanya.
Pemilu masih berjalan, TPS masih buka, tinta masih menempel di jari — tetapi substansi kedaulatan rakyat perlahan terkikis.
Kekuasaan kini berputar di antara kelompok ekonomi dan politik yang sama.
Sirkulasi elite tidak benar-benar berubah; hanya wajahnya yang berganti.
Sementara, struktur sosial dan ekonomi yang timpang terus memaksa rakyat menerima politik sebagai takdir, bukan perjuangan.
Dandhy dengan jeli menunjukkan bagaimana hukum bisa dibuat lentur, aparat bisa diarahkan, dan kebijakan bisa disesuaikan — semua demi melanggengkan kekuasaan.
Inilah bentuk otoritarianisme elektoral: ketika demokrasi hanya jadi topeng bagi kekuasaan yang absolut.
Peran Media dan Kewargaan Kritis
Salah satu kekuatan Dirty Vote II adalah keberaniannya memanfaatkan ruang digital untuk membangun kesadaran politik baru.
Di tengah media arus utama yang banyak dikekang kepentingan, dokumenter ini menjadi oase informasi dan pendidikan publik.
Namun, seperti diingatkan film ini secara implisit, kesadaran politik tidak cukup lahir dari tontonan.
Ia harus tumbuh menjadi gerakan nalar, menjadi kebiasaan untuk bertanya, mengkritik, dan menolak tunduk pada wacana tunggal.
Itulah esensi pendidikan politik: menjadikan warga negara bukan sekadar pemilih, melainkan pengawas kekuasaan.
Di ruang kelas, film ini bisa menjadi bahan refleksi — bukan untuk menanamkan kebencian politik, tetapi membangun kepekaan terhadap nilai keadilan dan integritas.
Demokrasi Butuh Perlawanan
Film ini tidak sekadar menuduh; ia menggugat nurani kita.
Ia bertanya dengan getir: “Apakah rakyat masih berdaulat?”
Dan lebih jauh lagi: “Apakah kita masih percaya pada demokrasi yang kita bangun sendiri?”
Dirty Vote II adalah alarm. Ia berdering keras di tengah euforia pembangunan, mengingatkan bahwa negara tidak boleh berjalan tanpa moralitas.
Bahwa hukum tanpa etika hanyalah alat; dan demokrasi tanpa kesadaran rakyat hanyalah ritual lima tahunan.
Menjaga Api Demokrasi
Kita boleh tidak sepakat dengan cara Dandhy bercerita, tetapi sulit menolak kenyataan bahwa film ini menyentuh saraf paling sensitif bangsa: kebenaran dan kejujuran.
Ia bukan hanya film dokumenter, melainkan aksi kebudayaan.
Dirty Vote II (O³) mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada elite atau lembaga negara.
Ia harus dijaga oleh rakyat — dengan nalar, dengan keberanian, dan dengan ingatan.
“Kekuasaan selalu mencari cara untuk bertahan.
Tapi rakyat yang sadar adalah batas terakhir yang membuatnya gentar.”
Dan di sanalah film ini menempatkan dirinya — bukan sebagai propaganda, tetapi sebagai cermin retak yang mengajak kita menatap wajah bangsa sendiri, tanpa ilusi.
