Skip to main content

Dirty Vote II (O³): Ketika Demokrasi Tak Lagi Milik Rakyat

Ketika film dokumenter Dirty Vote pertama tayang pada Februari 2024, publik dibuat terhenyak.
Tiga ahli hukum berbicara tanpa tedeng aling-aling tentang bagaimana kekuasaan memelintir aturan untuk memenangkan kontestasi politik.
Kini, hampir setahun berselang, Dirty Vote II (O³) hadir — lebih panjang, lebih berani, dan lebih getir.
Film ini bukan sekadar lanjutan, melainkan autopsi atas tubuh demokrasi Indonesia.
Ia menelanjangi relasi kuasa yang makin kompleks: “Otot, Otak, dan Ongkos” (O³) — tiga pilar yang kini menopang kekuasaan di republik ini.

Otot, Otak, dan Ongkos: Segitiga Besi Kekuasaan

Dandhy Dwi Laksono dan Watchdoc kembali memperlihatkan bagaimana demokrasi kita disandera oleh sistem yang tampak legal, tapi sarat manipulasi.
Otot melambangkan kekuatan koersif negara — aparat, lembaga penegak hukum, dan struktur birokrasi — yang bisa diarahkan untuk menekan atau mengamankan kepentingan tertentu.
Otak mewakili desain hukum dan regulasi yang disusun sedemikian rupa untuk memberi legitimasi pada praktik kekuasaan yang timpang.
Ongkos adalah darah yang mengalir di tubuh politik Indonesia: uang yang menyalakan mesin kampanye, membungkam kritik, dan membiayai loyalitas.
Ketiganya saling menopang.
Dan di antara simpul-simpul itu, rakyat menjadi penonton — bukan subjek demokrasi, melainkan sekadar alat legitimasi.

Dari Demokrasi ke Oligarki: Jalan yang Licin dan Sunyi

​​Dirty Vote II mengajak kita menengok kenyataan pahit: demokrasi Indonesia sedang kehilangan jiwanya.
Pemilu masih berjalan, TPS masih buka, tinta masih menempel di jari — tetapi substansi kedaulatan rakyat perlahan terkikis.

Kekuasaan kini berputar di antara kelompok ekonomi dan politik yang sama.
Sirkulasi elite tidak benar-benar berubah; hanya wajahnya yang berganti.
Sementara, struktur sosial dan ekonomi yang timpang terus memaksa rakyat menerima politik sebagai takdir, bukan perjuangan.

Dandhy dengan jeli menunjukkan bagaimana hukum bisa dibuat lentur, aparat bisa diarahkan, dan kebijakan bisa disesuaikan — semua demi melanggengkan kekuasaan.
Inilah bentuk otoritarianisme elektoral: ketika demokrasi hanya jadi topeng bagi kekuasaan yang absolut.

Peran Media dan Kewargaan Kritis

Salah satu kekuatan Dirty Vote II adalah keberaniannya memanfaatkan ruang digital untuk membangun kesadaran politik baru.
Di tengah media arus utama yang banyak dikekang kepentingan, dokumenter ini menjadi oase informasi dan pendidikan publik.

Namun, seperti diingatkan film ini secara implisit, kesadaran politik tidak cukup lahir dari tontonan.
Ia harus tumbuh menjadi gerakan nalar, menjadi kebiasaan untuk bertanya, mengkritik, dan menolak tunduk pada wacana tunggal.

Itulah esensi pendidikan politik: menjadikan warga negara bukan sekadar pemilih, melainkan pengawas kekuasaan.
Di ruang kelas, film ini bisa menjadi bahan refleksi — bukan untuk menanamkan kebencian politik, tetapi membangun kepekaan terhadap nilai keadilan dan integritas.

Demokrasi Butuh Perlawanan

Film ini tidak sekadar menuduh; ia menggugat nurani kita.
Ia bertanya dengan getir: “Apakah rakyat masih berdaulat?”
Dan lebih jauh lagi: “Apakah kita masih percaya pada demokrasi yang kita bangun sendiri?”

​​Dirty Vote II adalah alarm. Ia berdering keras di tengah euforia pembangunan, mengingatkan bahwa negara tidak boleh berjalan tanpa moralitas.
Bahwa hukum tanpa etika hanyalah alat; dan demokrasi tanpa kesadaran rakyat hanyalah ritual lima tahunan.

Menjaga Api Demokrasi

Kita boleh tidak sepakat dengan cara Dandhy bercerita, tetapi sulit menolak kenyataan bahwa film ini menyentuh saraf paling sensitif bangsa: kebenaran dan kejujuran.
Ia bukan hanya film dokumenter, melainkan aksi kebudayaan.

​​Dirty Vote II (O³) mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada elite atau lembaga negara.
Ia harus dijaga oleh rakyat — dengan nalar, dengan keberanian, dan dengan ingatan.

Kekuasaan selalu mencari cara untuk bertahan.
Tapi rakyat yang sadar adalah batas terakhir yang membuatnya gentar.”

Dan di sanalah film ini menempatkan dirinya — bukan sebagai propaganda, tetapi sebagai cermin retak yang mengajak kita menatap wajah bangsa sendiri, tanpa ilusi.

Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...