Pada 2 Oktober 2023, Indonesia resmi memasuki babak baru sejarah transportasi dengan diresmikannya Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau dikenal dengan nama Whoosh. Diresmikan dengan gegap gempita sebagai “ikon modernitas nasional”, Whoosh menjadi proyek kebanggaan pemerintah yang diklaim menandai lompatan peradaban—sebuah pencapaian teknologi yang menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju di Asia.
Namun, di balik kecepatan 350 km/jam dan jargon “efisiensi waktu”, tersimpan pertanyaan lebih dalam: untuk siapa sebenarnya kereta cepat ini dibangun?
Apakah ia benar-benar menjawab kebutuhan publik, atau sekadar menjadi etalase kemajuan yang menutupi ketimpangan sosial, beban ekonomi, dan luka-luka kultural di bawah relnya?
Tulisan ini mencoba membedah proyek Whoosh secara kritis, melalui tiga lensa utama: ekonomi politik, sosial-ekonomi, dan antropologi mobilitas. Pendekatan ini membantu melihat bahwa pembangunan infrastruktur bukan hanya soal beton dan kecepatan, tapi juga tentang manusia, ruang hidup, dan relasi kekuasaan.
---
1. Ekonomi Politik: Antara Kebanggaan Nasional dan Beban Fiskal
1.1. Dari proyek ambisius ke beban struktural
Proyek kereta cepat Whoosh semula diperkirakan menelan biaya sekitar Rp86,5 triliun, namun mengalami cost overrun hingga melampaui Rp113 triliun (Kemenkeu, 2024). Pembengkakan biaya ini bukan sekadar teknis, tapi juga mencerminkan asimetri kekuasaan dalam proyek strategis nasional (PSN) yang sering dikecualikan dari mekanisme akuntabilitas publik.
Skema pembiayaan yang diklaim tanpa jaminan APBN akhirnya berubah: pemerintah melalui PT KAI (BUMN) harus menanggung tambahan penyertaan modal negara (PMN). Ini memperlihatkan risiko fiscal moral hazard — di mana proyek besar yang tidak efisien akhirnya diselamatkan oleh uang rakyat.
1.2. Ketimpangan manfaat: siapa yang benar-benar diuntungkan?
Secara ekonomi, manfaat Whoosh lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah atas, pelaku bisnis, dan wisatawan domestik yang mampu membeli tiket di kisaran Rp150–250 ribu.
Sementara kelompok masyarakat berpendapatan rendah di sepanjang koridor proyek—terutama di Purwakarta, Karawang, dan Padalarang—lebih banyak merasakan dampak negatif: penggusuran lahan, terganggunya ekosistem pertanian, dan meningkatnya harga tanah tanpa kompensasi sosial memadai (Laporan Komnas HAM, 2024).
Alih-alih menghubungkan rakyat, Whoosh justru mempertegas segregasi ruang: antara mereka yang bisa menikmati mobilitas cepat dan mereka yang hanya bisa menontonnya melintas di atas kepala.
---
2. Dimensi Sosial-Ekonomi: Mobilitas Cepat, Ketimpangan Lebih Cepat
2.1. Waktu dan ruang dalam ekonomi baru
Whoosh secara nyata mengubah peta waktu dan ruang antara Jakarta dan Bandung. Perjalanan yang dahulu memakan waktu 3 jam kini bisa ditempuh dalam 45 menit.
Namun, efisiensi waktu ini tidak otomatis berarti efisiensi sosial.
Stasiun utama di Tegalluar, Bandung, justru berjarak 20 kilometer dari pusat kota. Akses menuju ke sana masih mengandalkan mobil pribadi, ojek daring, atau bus pengumpan yang belum terintegrasi penuh. Artinya, bagi pengguna umum, waktu tempuh tambahan 30–45 menit membuat keuntungan “kereta cepat” menjadi relatif.
Situasi ini menegaskan apa yang disebut antropolog transportasi Mimi Sheller (2018) sebagai “mobilities paradox” — di mana kecepatan mobilitas justru dapat menciptakan bentuk-bentuk baru dari ketidaksetaraan mobilitas (uneven mobility).
2.2. Dampak pada ekonomi lokal
Proyek ini membuka peluang baru di sektor jasa dan properti, terutama di sekitar stasiun. Hotel, kafe, dan kawasan ritel bermunculan di Padalarang dan Tegalluar.
Namun, ekonomi lokal tradisional seperti warung, pertanian, dan usaha mikro di desa sekitar proyek mengalami disrupsi besar. Harga tanah melonjak, sementara biaya hidup meningkat. Bagi masyarakat yang kehilangan lahan, kompensasi tunai tidak menggantikan kehilangan modal sosial, akses air, dan identitas tempat.
Dalam konteks ekonomi kerakyatan, Whoosh menunjukkan fenomena gentrifikasi infrastruktur — proyek besar yang menimbulkan redistribusi ruang tanpa redistribusi manfaat.
---
3. Antropologi Mobilitas: Modernitas, Tanah, dan Identitas
3.1. Waktu sebagai simbol status
Naik Whoosh kini menjadi bagian dari gaya hidup urban menengah—disematkan dalam konten media sosial dan kampanye “Indonesia Maju”. Dalam antropologi konsumsi, hal ini disebut sebagai performative mobility: bepergian cepat bukan semata kebutuhan, tetapi juga simbol status.
Kecepatan menjadi “ritus modernitas” — yang memisahkan mereka yang dianggap modern dari yang tertinggal. Dengan demikian, Whoosh bukan hanya infrastruktur teknis, tapi juga alat simbolik kekuasaan negara untuk menampilkan kemajuan di hadapan rakyat dan dunia internasional.
3.2. Tanah dan trauma sosial
Di sisi lain, proyek ini membawa luka sosial yang tidak kecil. Laporan lapangan yang disusun oleh beberapa lembaga masyarakat sipil (Walhi, 2023; Lokataru Foundation, 2024) menemukan adanya praktik pengambilalihan tanah dengan kompensasi tidak setara dan konsultasi publik yang minim.
Bagi banyak petani, sawah bukan sekadar aset ekonomi, tapi ruang spiritual dan sosial — tempat berlangsungnya ritual, gotong royong, dan penanda identitas keluarga.
Kehilangan tanah berarti kehilangan sejarah, bukan sekadar kehilangan penghasilan.
Antropolog James Scott (1998) menyebut fenomena semacam ini sebagai “seeing like a state”: negara memandang tanah hanya sebagai objek efisiensi dan pembangunan, sementara warga memandangnya sebagai bagian dari kehidupan yang bermakna.
---
4. Ekologi dan Lingkungan: Kecepatan yang Merusak Sunyi
Proyek Whoosh juga membawa konsekuensi ekologis yang besar. Pembangunan rel dan terowongan mengubah bentang alam, merusak sistem irigasi sawah, serta meningkatkan risiko banjir di beberapa titik Karawang dan Padalarang (Kementerian LHK, 2024).
Kajian WALHI Jawa Barat (2024) menyebut adanya gangguan pada area resapan air dan degradasi vegetasi di jalur rel. Ironisnya, proyek yang diklaim “ramah lingkungan” justru menambah jejak karbon akibat konsumsi energi listrik besar dan produksi semen-baja masif selama konstruksi.
Kritik ini mengingatkan bahwa “pembangunan hijau” sering kali hanya kosmetik, tanpa evaluasi ekologis yang substantif.
---
5. Dimensi Kultural dan Simbolik
5.1. Nasionalisme teknologi dan politik pencitraan
Whoosh dijual kepada publik sebagai lambang “kebanggaan nasional” — proyek pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan kereta berkecepatan tinggi.
Namun, di balik narasi nasionalisme teknologi, terselip logika politik pencitraan yang kuat.
Proyek ini diluncurkan menjelang tahun politik dan sering dimunculkan dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo sebagai bukti keberhasilan pembangunan infrastruktur.
Dalam kacamata antropologi politik, ini adalah politik spektakel — pemerintah membangun citra modernitas melalui visual megah dan narasi kecepatan, sementara struktur ekonomi di bawahnya masih timpang.
5.2. Pergeseran makna “kemajuan”
Bagi sebagian warga, kemajuan diukur bukan dari berapa cepat mereka bisa bepergian, melainkan berapa banyak yang bisa mereka makan hari itu, atau seberapa aman tanah mereka dari penggusuran.
Dalam hal ini, Whoosh menyingkap ironi pembangunan: di saat negara berlari mengejar simbol modernitas, sebagian rakyat tertinggal di belakang, menatap rel besi yang membelah kampung mereka.
---
6. Evaluasi Ekonomi dan Keberlanjutan
6.1. Beban utang dan potensi kerugian
Data Kementerian BUMN (2025) menunjukkan bahwa proyek Whoosh masih jauh dari titik impas (break-even). Tingkat okupansi penumpang rata-rata berkisar 50–60%, sementara beban bunga dan perawatan tinggi.
Jika tren ini berlanjut, KCIC berpotensi membutuhkan suntikan modal tambahan, yang berarti risiko socialized loss — kerugian yang akhirnya ditanggung negara.
6.2. Integrasi dengan moda transportasi lain
Agar proyek ini tidak menjadi “kereta cepat yang lambat”, integrasi dengan moda lain seperti LRT, feeder bus, dan jalur KA konvensional harus dipercepat.
Tanpa itu, Whoosh hanya akan menjadi monumen teknologi — cepat di atas rel, lamban di kehidupan nyata.
---
7. Perspektif Antropologis: Pembangunan sebagai Ritual Negara
Jika kita membaca proyek Whoosh melalui kacamata antropologi pembangunan (Ferguson, 1990), ia tampak seperti ritual negara modern: menampilkan kemajuan teknologis sebagai cara melegitimasi kekuasaan.
Kereta cepat bukan sekadar alat transportasi, tapi juga teater ideologis — tempat negara memperlihatkan bahwa ia mampu “mengatur waktu” rakyatnya.
Dalam ritual itu, rakyat diundang untuk bangga, tetapi tidak selalu dilibatkan dalam prosesnya.
Mereka menjadi penonton modernitas, bukan aktor pembangunan.
---
8. Rekomendasi dan Jalan Tengah
1. Audit sosial dan ekonomi independen
Pemerintah perlu membuka data finansial dan sosial proyek Whoosh kepada publik, termasuk mekanisme pembiayaan, dampak lingkungan, dan kompensasi warga.
2. Kompensasi berbasis nilai sosial-budaya
Ganti rugi tanah tidak bisa hanya berdasarkan harga pasar. Harus ada pengakuan atas nilai budaya, relasi sosial, dan fungsi ekologis tanah.
3. Integrasi moda dan subsidi lintas kelas
Pemerintah dapat menerapkan skema subsidi tiket untuk kelompok pekerja dan pelajar agar manfaat mobilitas lebih merata.
4. Kajian antropologis jangka panjang
Universitas dan lembaga riset perlu dilibatkan dalam observasi sosial berkelanjutan untuk memantau dampak perubahan ruang, pekerjaan, dan identitas.
5. Reorientasi paradigma pembangunan
Kecepatan seharusnya bukan tujuan, tetapi alat untuk mempercepat keadilan sosial. Tanpa itu, modernitas hanya akan menjadi dekorasi dari ketimpangan lama.
---
Kesimpulan: Kecepatan Tanpa Keadilan adalah Keterlambatan Baru
Kereta cepat Whoosh memang membawa Indonesia pada babak baru mobilitas. Ia mempersingkat jarak, memperindah citra, dan memberi kebanggaan simbolik.
Namun, pembangunan yang hanya mengejar kecepatan tanpa memikirkan keadilan sosial adalah bentuk keterlambatan yang lain — keterlambatan moral dan ekologis.
Jika pembangunan ingin bermakna, maka kecepatan harus diimbangi dengan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan penghormatan terhadap ruang hidup manusia.
Sebab pada akhirnya, yang membuat sebuah bangsa maju bukan seberapa cepat ia melaju, tetapi seberapa adil ia menempuh perjalanan itu.
---
Referensi
- Kementerian Keuangan RI (2024). Laporan Pembiayaan Infrastruktur Nasional 2023–2024.
- Kementerian BUMN (2025). Evaluasi Proyek Strategis Nasional KCJB.
- Komnas HAM (2024). Laporan Dampak Sosial dan Penggusuran KCJB.
- WALHI Jawa Barat (2024). Kajian Lingkungan Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
- Sheller, Mimi. (2018). Mobility Justice: The Politics of Movement in an Age of Extremes.
- Scott, James C. (1998). Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. Yale University Press.
- Ferguson, James. (1990). The Anti-Politics Machine: “Development,” Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho.
- Lokataru Foundation (2024). Catatan Hukum dan Sosial atas Proyek Kereta Cepat.
---