Skip to main content

Sinergisitas Kurikulum Merdeka dan Transformasi Digital

Oleh: Syamsul Maatif, SS. M.Pd

Reformasi pendidikan bukan sekadar perubahan dokumen kurikulum. Ia adalah upaya menyeluruh untuk membangun generasi masa depan yang tangguh, adaptif, dan bermakna. Di tengah gelombang perubahan global, Indonesia mencoba melangkah dengan gagah melalui kebijakan Kurikulum Merdeka. Namun, untuk menjadikannya lebih dari sekadar wacana, kurikulum ini perlu berjalan beriringan dengan transformasi digital pendidikan yang merata dan berkelanjutan.
Kurikulum Merdeka dirancang untuk menjawab tantangan pendidikan abad ke-21. Ia mengusung semangat pembelajaran yang berpihak pada murid, membebaskan guru dari tekanan administratif, dan mendorong pembelajaran yang relevan dengan kehidupan. Dalam konsep ini, siswa tak hanya dituntut menguasai materi, tapi juga mampu berpikir kritis, bekerja kolaboratif, dan menyelesaikan masalah dunia nyata.
Namun pertanyaannya, sejauh mana semangat merdeka ini bisa terealisasi tanpa dukungan ekosistem digital yang kuat?

Teknologi: Antara Kebutuhan dan Ketimpangan

Pandemi COVID-19 menjadi momentum besar bagi dunia pendidikan untuk mengenal teknologi secara lebih dalam. Sekolah yang selama ini alergi dengan digital, terpaksa mengadopsi platform daring. Muncul kesadaran kolektif bahwa pembelajaran masa depan tak bisa lagi bergantung sepenuhnya pada papan tulis dan buku cetak.
Sayangnya, proses ini juga memperlihatkan wajah asli ketimpangan digital di negeri ini. Menurut data BPS (2023), hampir separuh sekolah di wilayah 3T masih terkendala akses internet. Sementara itu, banyak guru yang masih gagap menggunakan teknologi sebagai alat pembelajaran, bukan sekadar alat penyampaian materi.
Dalam konteks inilah, Kurikulum Merdeka dan transformasi digital tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah dua sisi dari koin yang sama. Kurikulum yang fleksibel membutuhkan teknologi sebagai medium pembelajaran, dan teknologi yang tepat guna membutuhkan kurikulum yang membuka ruang untuk eksperimen dan inovasi.

Ruang untuk Berkembang, Bukan Diseragamkan

Pendidikan yang baik tak bisa diseragamkan. Apa yang relevan di Jakarta belum tentu cocok untuk siswa di pelosok Papua. Kurikulum Merdeka memahami ini dengan memberi ruang adaptasi kontekstual. Namun ruang ini akan sia-sia jika tak disertai dukungan digital yang memungkinkan siswa di desa terpencil bisa mengakses materi, pelatihan, dan sumber belajar yang sama dengan mereka di kota besar.
Platform seperti Merdeka Mengajar adalah contoh awal upaya digitalisasi. Di dalamnya tersedia modul ajar, video inspiratif, serta pelatihan guru berbasis daring. Namun platform semacam ini belum cukup. Diperlukan upaya lintas sektor untuk memastikan infrastruktur dasar—listrik, jaringan internet, dan perangkat belajar—tersedia secara merata.

Guru sebagai Pilar Transformasi

Kunci keberhasilan Kurikulum Merdeka tetaplah pada guru. Mereka adalah aktor utama di ruang kelas, dan hanya merekalah yang bisa menerjemahkan semangat merdeka menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan. Untuk itu, pelatihan guru tidak bisa lagi bersifat formalitas. Literasi digital dan pedagogi berbasis teknologi harus menjadi bagian integral dari pengembangan kompetensi guru.
Guru juga perlu diberi ruang untuk berinovasi. Bukan sekadar mengikuti pelatihan, tetapi juga diberi wadah untuk berbagi praktik baik, membuat konten pembelajaran digital, hingga terlibat dalam pengembangan platform pendidikan lokal. Pemberdayaan guru adalah bentuk nyata dari kepercayaan terhadap profesi pendidik.

Etika dan Literasi Digital

Transformasi digital tak lepas dari risiko. Penyebaran informasi palsu, konten negatif, hingga kecanduan layar adalah tantangan nyata di kalangan pelajar. Karena itu, integrasi literasi digital dalam pembelajaran menjadi semakin penting. Siswa harus diajak berpikir kritis, bukan hanya terhadap teks bacaan, tetapi juga terhadap algoritma media sosial dan arus informasi daring.
Kurikulum Merdeka dapat menjadi wahana untuk membentuk pelajar yang tidak hanya cakap teknologi, tapi juga bijak digital. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) adalah peluang emas untuk menanamkan nilai-nilai etika digital, toleransi berinternet, serta tanggung jawab dalam ruang siber.

Jalan Panjang Menuju Transformasi

Perubahan sistem pendidikan bukan pekerjaan satu generasi. Ia memerlukan kesinambungan kebijakan, kolaborasi lintas sektor, dan partisipasi publik. Pemerintah perlu memastikan bahwa digitalisasi pendidikan tidak menjadi proyek sesaat, melainkan bagian dari visi jangka panjang yang menjadikan teknologi sebagai penggerak utama pendidikan yang adil dan inklusif.
Kurikulum Merdeka telah membuka pintu perubahan. Namun pintu itu hanya bisa dilalui jika kita memiliki kendaraan yang tepat: teknologi yang berpihak pada murid, guru yang terus belajar, serta infrastruktur yang menjangkau hingga ke pelosok negeri.
Transformasi digital bukan sekadar soal tablet dan jaringan. Ia adalah tentang keberanian kita berinvestasi pada masa depan anak-anak Indonesia. Dan masa depan itu tidak bisa ditunda lagi.

Penulis adalah pegiat dan pemerhati pendidikan.

Popular posts from this blog

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Ironi di Manhattan: Kemewahan yang Menggerus Moralitas

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Di hadapan forum internasional, presiden baru Indonesia berkesempatan menyampaikan pandangan strategis bangsa ini mengenai isu global: perdamaian, ekonomi dunia, hingga perubahan iklim. Namun, sorotan publik di tanah air justru tidak berhenti pada isi pidato, melainkan pada fakta yang menyertainya: Presiden bersama rombongan sekitar 60 orang memilih menginap di salah satu hotel mewah di Manhattan, New York. Kabar ini cepat menyebar di media sosial, memantik perdebatan yang sengit. Sebagian masyarakat mempertanyakan relevansi gaya hidup mewah pejabat di tengah seruan efisiensi anggaran, sementara sebagian lain mencoba memaklumi dengan alasan protokol keamanan dan standar kenegaraan. Namun, bagi banyak orang, simbol yang ditangkap jauh lebih kuat daripada alasan teknis: kemewahan pejabat tetaplah kemewahan pejabat, apapun pembena...