Oleh: anonimous
Di tengah upaya masif pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan nasional melalui program-program seperti Kurikulum Merdeka dan digitalisasi sekolah, sebuah ancaman serius justru muncul dari aktor yang semestinya menjadi garda terdepan reformasi pendidikan: para kepala sekolah. Ironisnya, bukan hanya secara individu, namun dugaan praktik korupsi ini diduga terorganisir melalui wadah resmi bernama perkumpulan kepala sekolah.
Secara legal, perkumpulan kepala sekolah di berbagai jenjang pendidikan dibentuk sebagai forum koordinasi, penguatan kepemimpinan, serta kolaborasi lintas sekolah. Tujuan utamanya, di atas kertas, adalah mempererat solidaritas profesi kepala sekolah dalam rangka mewujudkan pendidikan yang bermutu dan berintegritas. Namun kenyataannya, di banyak daerah, organisasi ini justru bertransformasi menjadi jaringan kekuasaan yang menjalankan praktik “pengondisian” proyek, pengaturan jabatan, bahkan pemotongan dana BOS dan DAK fisik.
Modus Praktik Sistemik
Praktik korupsi yang berlangsung bukan lagi bersifat individual, melainkan kolektif dan sistematis. Modus operandi yang sering terjadi antara lain:
• Potongan Dana BOS/DAK: Kepala sekolah diwajibkan menyetor “iuran” atau “kontribusi organisasi” dari dana BOS dan DAK fisik kepada pengurus perkumpulan. Jumlahnya berkisar antara 5-10 persen dari total dana.
• Vendor Tunggal: Dalam banyak kasus, pengurus organisasi menunjuk rekanan atau vendor tertentu sebagai penyedia barang/jasa, dan seluruh sekolah diwajibkan membeli dari vendor tersebut meskipun harga lebih mahal atau kualitas rendah.
• Pelatihan Fiktif atau Overbudget: Organisasi menyelenggarakan pelatihan guru atau workshop yang dalam laporan keuangan disusun bernilai tinggi, tetapi pelaksanaannya jauh dari anggaran yang digunakan, bahkan ada yang tidak dilaksanakan sama sekali.
• Transaksi Jabatan: Kepala sekolah baru atau yang ingin bertahan di posisinya harus “menyumbang” dana kepada pengurus organisasi agar mendapat rekomendasi atau perlindungan dari mutasi yang tidak diinginkan.
Sejumlah pengakuan off-the-record dari kepala sekolah dan guru di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatra Barat menunjukkan bahwa praktik semacam ini sudah berlangsung bertahun-tahun, dan dianggap sebagai “rahasia umum” yang tidak bisa dilawan tanpa risiko.
Dari Organisasi Profesi Menjadi Kartel Kekuasaan
Lantas, mengapa praktik ini bisa begitu mengakar? Jawabannya terletak pada tiga kata kunci: kekuasaan, solidaritas semu, dan impunitas.
Sebagai pimpinan tertinggi di satuan pendidikan, kepala sekolah memiliki otoritas besar dalam pengelolaan anggaran, perekrutan guru honorer, pengambilan keputusan pembelajaran, serta hubungan eksternal dengan Dinas Pendidikan. Ketika para kepala sekolah berkumpul dalam satu organisasi, potensi pengaruh dan pengaturan menjadi besar. Sayangnya, kekuasaan itu tidak selalu digunakan untuk kemajuan pendidikan, tetapi justru dimanfaatkan untuk membangun “kartel” kekuasaan.
Solidaritas yang dibangun di dalam organisasi kepala sekolah pada akhirnya menjadi senjata ganda. Di satu sisi menjadi wadah berbagi informasi, tetapi di sisi lain menjadi alat represi bagi mereka yang ingin menjaga integritas. Kepala sekolah yang menolak ikut “sistem” cenderung dikucilkan, tidak mendapat proyek, atau bahkan dimutasi secara tidak adil.
Lebih memprihatinkan lagi, tidak sedikit kepala dinas pendidikan yang justru berperan sebagai pelindung atau bahkan bagian dari jaringan ini. Alih-alih membina, kepala dinas sering kali menyerahkan distribusi pelatihan, proyek, atau mutasi jabatan kepada rekomendasi dari organisasi kepala sekolah.
Realita di Daerah: Kasus Nyata
Pada tahun 2023, Ombudsman RI menerima sejumlah laporan terkait dugaan penyimpangan anggaran pendidikan yang melibatkan organisasi kepala sekolah di beberapa kabupaten. Salah satu yang cukup mencolok terjadi di wilayah Sumatra, di mana seluruh kepala sekolah SMP negeri diwajibkan membeli modul pembelajaran digital dari satu vendor yang ditunjuk oleh organisasi, meskipun tidak dibutuhkan oleh sekolah.
Di Jawa Tengah, beberapa kepala sekolah mengeluhkan kewajiban “menyetor” dana pelatihan guru kepada organisasi, padahal kegiatan pelatihan itu tidak pernah dilaksanakan. Laporan ini berujung pada pemeriksaan internal, namun tak pernah sampai ke ranah hukum karena tidak ada kepala sekolah yang berani bersaksi secara terbuka.
Hal ini menunjukkan bahwa praktik-praktik ini sering kali tak terlacak secara hukum karena keterlibatan kolektif membuat siapa pun yang berbicara merasa terancam. Tanpa perlindungan yang memadai, praktik korupsi kolektif dalam dunia pendidikan akan terus berlangsung seperti gunung es.
Dampak Sistemik Bagi Pendidikan
Dampak dari korupsi yang dilakukan oleh organisasi kepala sekolah sangat merusak di berbagai level:
• Hilangnya Dana Pendidikan: Dana yang seharusnya digunakan untuk fasilitas siswa justru masuk ke kantong-kantong pribadi para pengurus organisasi.
• Menurunnya Kualitas Pengajaran: Pelatihan guru dan pembelian bahan ajar menjadi proyek formalitas semata, tanpa peningkatan kualitas yang nyata.
• Rusaknya Kultur Integritas: Guru dan siswa yang menyaksikan praktik kotor di lingkup manajemen sekolah cenderung bersikap apatis dan permisif terhadap korupsi.
• Terganggunya Reformasi Pendidikan: Program-program seperti Kurikulum Merdeka menjadi sulit diimplementasikan secara jujur jika aktor utamanya justru bermain curang di balik layar.
Jalan Keluar: Reformasi Organisasi Kepala Sekolah
Kita tidak bisa serta-merta membubarkan seluruh organisasi kepala sekolah, karena dalam banyak hal organisasi ini tetap dibutuhkan sebagai forum koordinasi dan advokasi kebijakan. Namun, perlu ada reformasi mendasar terhadap cara kerja dan akuntabilitasnya.
Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
• Audit Mandiri dan Publikasi Keuangan: Setiap kegiatan dan anggaran organisasi harus diaudit dan dilaporkan secara terbuka, bahkan ke publik.
• Transparansi Proyek dan Vendor: Semua proyek yang melibatkan kepala sekolah atau sekolah harus dilakukan melalui sistem tender terbuka, bukan penunjukan berdasarkan rekomendasi organisasi.
• Perlindungan Whistleblower: Guru atau kepala sekolah yang melaporkan penyimpangan harus dilindungi identitas dan posisinya oleh lembaga pengawas seperti Ombudsman atau KPK.
• Pengawasan oleh Lembaga Independen: Pemerintah daerah harus membuka ruang bagi pengawasan eksternal yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan media.
• Revisi Aturan Kelembagaan: Organisasi kepala sekolah harus diatur ulang batasan kewenangan dan peranannya agar tidak mencampuri ranah keuangan dan pengadaan.
Penutup
Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral dan masa depan. Jika kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di tingkat akar rumput justru menjadi pelaku korupsi, maka kita sedang menggali kubur bagi generasi mendatang. Keberadaan organisasi kepala sekolah yang seharusnya menjadi rumah profesionalisme jangan sampai berubah menjadi sarang penyimpangan.
Masyarakat, guru, media, dan pemangku kebijakan harus bersatu untuk memutus rantai ini. Pendidikan yang jujur, bersih, dan bermartabat hanya bisa terwujud jika pemimpinnya memiliki integritas yang kokoh. Reformasi pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan teknologi, tetapi juga soal keberanian melawan korupsi dari dalam.
Penulis tidak ingin disebut namanya.