Skip to main content

Mental Jongos

Kita sering bangga menyebut diri merdeka. Tujuh puluh sekian tahun bendera berkibar, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan kata “kedaulatan” diulang-ulang dalam pidato. Namun di balik itu, ada sesuatu yang belum sungguh-sungguh lepas: cara berpikir yang gemar merunduk. Inilah yang kerap kita jumpai sebagai mental jongos.
Jongos bukan budak yang dirantai. Ia bergerak bebas, berbicara lancar, bahkan mengenakan pakaian rapi. Tapi seluruh geraknya diarahkan oleh satu naluri: menyenangkan tuan. Ia patuh bukan karena benar, melainkan karena takut kehilangan tempat. Ia diam bukan karena setuju, melainkan karena terbiasa mengalah.
Mental jongos tumbuh subur dalam relasi kuasa yang timpang. Ia tidak lahir dari kebodohan, melainkan dari latihan panjang: melihat yang berkuasa selalu benar, dan yang lemah selalu salah. Dari sana muncul keyakinan sunyi bahwa keadilan adalah kemewahan, bukan hak. Maka ketika diperlakukan tidak adil, reaksi yang muncul bukan perlawanan, melainkan pembenaran: “Beginilah hidup.”
Dalam kehidupan sehari-hari, mental jongos tampak sederhana. Ketika pejabat keliru, rakyat sibuk mencari alasan untuk membenarkannya. Ketika kebijakan menyakiti banyak orang, kritik dianggap tidak tahu diri. Ketika kekuasaan berlaku kasar, yang disalahkan justru mereka yang bersuara. Seolah-olah ketertiban lebih penting daripada kebenaran.
Mental jongos juga lihai menyamar sebagai kesantunan. Ia berlindung di balik kata “etika”, “tata krama”, dan “budaya timur”. Padahal yang dijaga bukan adab, melainkan hierarki. Bukan rasa hormat, melainkan rasa takut. Kita diajari untuk menunduk, tapi lupa diajari kapan harus berdiri sejajar.
Yang lebih berbahaya, mental jongos sering merasa paling bermoral. Ia bangga menjadi pembela kekuasaan, meski tak pernah kebagian kekuasaan itu sendiri. Ia marah pada kritik, seolah kritik mengancam stabilitas hidupnya. Padahal yang sebenarnya ia lindungi adalah ilusi: harapan bahwa dengan setia melayani, suatu hari ia akan dianggap.
Di ruang birokrasi, mental jongos menjelma sebagai kepatuhan tanpa nalar. Perintah diikuti meski keliru. Keputusan diterima meski merugikan. Profesionalisme dikalahkan oleh loyalitas. Akibatnya, kesalahan beranak-pinak, sementara kebenaran kesepian. Semua sibuk menyelamatkan posisi, bukan menyelamatkan akal sehat.
Ironisnya, mental jongos sering mengejek keberanian. Orang yang bersuara dianggap pembuat gaduh. Mereka yang menolak tunduk dicap tidak tahu diri. Padahal sejarah perubahan selalu dimulai dari kegaduhan kecil: satu suara yang menolak diam, satu orang yang berani berkata tidak.
Mental jongos bukan semata-mata kesalahan individu. Ia adalah hasil dari sistem yang memberi ganjaran pada kepatuhan, dan hukuman pada kejujuran. Dari sekolah hingga kantor, dari desa hingga negara, kita lebih sering diajar patuh daripada berpikir. Maka jangan heran jika banyak orang merasa cemas saat diminta merdeka dalam pikiran.
Merdeka, dalam arti sesungguhnya, menuntut keberanian: berani tidak disukai, berani kehilangan perlindungan, berani berdiri tanpa tuan. Dan keberanian semacam itu mahal. Ia tidak tumbuh di tanah yang setiap hari disiram ketakutan.
Karena itu, membongkar mental jongos bukan soal memaki siapa pun. Ini soal bercermin. Bertanya pada diri sendiri: berapa kali kita memilih diam demi aman? Berapa sering kita membela yang kuat sambil menuding yang lemah? Dan berapa lama lagi kita menyebut diri merdeka, sementara pikiran kita masih berlutut?
Kemerdekaan sejati dimulai ketika kita berhenti menjadi jongos dalam batin. Ketika hormat tidak lagi berarti takut, dan patuh tidak lagi berarti membungkam nurani.

Popular posts from this blog

Guru di Era Digital dan AI: Antara Kekhawatiran dan Harapan

Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd. "Apakah peran guru akan tergantikan oleh teknologi? Ataukah justru teknologi lah yang menegaskan betapa pentingnya guru?" Pertanyaan itu semakin relevan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam dunia pendidikan. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber ilmu, kini murid dapat belajar dari YouTube, mengikuti kursus daring, bahkan mengajukan pertanyaan apa pun kepada mesin pencari atau chatbot berbasis AI. Bagi sebagian orang, kondisi ini memunculkan kegelisahan: apakah profesi guru akan usang? Namun bagi yang lain, inilah momentum untuk mereposisi peran guru agar semakin relevan dengan kebutuhan zaman. Guru Tidak Lagi Satu-Satunya Sumber Ilmu Kita harus jujur mengakui: fungsi tradisional guru sebagai “penyampai pengetahuan” sudah bergeser. Murid tidak lagi bergantung sepenuhnya pada guru untuk mendapatkan jawaban. Bahkan, dalam hitungan detik, mesin pencari dapat memberikan ribuan re...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Para Penjual Penderitaan

Hujan turun berhari-hari. Tanah menjadi jenuh, sungai meluap, rumah-rumah di tepi bantaran roboh seperti gigi rapuh yang tak sempat dirawat. Anak-anak berlari membawa ember, menampung air yang bocor dari atap seng, dan seorang ibu menatap dengan wajah pasrah: bukan pada air, tapi pada nasib yang entah kapan berhenti menetes seperti itu. Di luar sana, suara sirene meraung, dan kamera-kamera mulai berdatangan. Mereka yang dulu jarang lewat gang sempit kini datang dengan rompi dan kamera besar, merekam setiap genangan, setiap tangis, setiap tubuh yang menggigil. Begitulah musim hujan di negeri ini—bukan hanya musim air, tapi juga musim empati yang dijual per kilo. Di antara lumpur dan reruntuhan, berdiri orang-orang yang tahu betul bahwa duka adalah bahan siaran yang laku, bahwa air mata bisa menjadi pembuka berita yang mengundang klik, bahwa bencana adalah musim panen bagi mereka yang hidup dari citra iba. Para penjual penderitaan muncul dari berbagai arah. Ada yang datang dengan kamera,...