Kabut pagi turun pelan-pelan seperti doa yang belum selesai dilafalkan. Dari kejauhan, Desa Kalikedung tampak seperti sekeping dunia yang belum tersentuh hiruk-pikuk kota. Sawah-sawah membentang sejauh mata memandang, dihiasi kilau embun yang tersisa dari semalam. Di batas pematang, Pak Sastra berdiri dalam diam, seolah mematung bersama rumpun padi yang bergoyang ringan ditiup angin.
Aku menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membuat tanah pematang runtuh. Dari belakang, tubuhnya tampak kokoh tetapi bergetar halus, seperti ada beban yang ia pikul tanpa bisa dibagi dengan siapa pun.
“Pagi, Pak,” kataku pelan.
Ia menoleh. Wajahnya yang biasanya cerah tampak keruh, penuh garis-garis yang kutahu bukan hanya sebab umur. “Pagi, Nang. Kau lihat ini…” Ia menunjuk ke hamparan padi yang menguning sebelum waktunya. “Warnanya pucat. Menguning tapi tak bahagia.”
Aku mengamati lebih dekat. Daun-daunnya menggulung, beberapa batangnya merunduk seperti orang tua yang terlalu cepat kehilangan tenaga. “Wereng?” tanyaku, meski aku sudah menduga jawabannya.
Pak Sastra mengangguk lambat. “Wereng coklat. Datangnya seperti kebiasaan buruk—diam-diam, kecil sekali, tak terlihat mata sebelum terlambat. Sekali ia menghisap nira padi, yang hijau bisa menjadi layu dalam hitungan hari.”
Ia jongkok, meraih satu batang padi, lalu mengusapnya dengan jari kasar yang sudah terbiasa menggarap tanah sejak masa muda. “Kemarin-kemarin aku merasa ada yang aneh, tapi pikirku mungkin hanya kurang pupuk. Ternyata… ya beginilah.”
Angin membawa bau lumpur, suara bangau yang lewat, dan kesunyian yang terasa lebih berat dari biasanya.
Dua hari sebelumnya, desa ribut sebentar. Bukan ribut besar, hanya riak kecil dalam kolam yang biasanya tenang. Samiun—pemuda kampung yang baru pulang dari kota setelah bekerja sebagai kuli proyek—berhenti di pos pinggir jalan desa karena dihentikan dua pria berseragam. Motor yang ia beli dari sisa keringatnya baru diketahui retak sedikit lampu belakangnya.
Retak kecil itu menjadi alasan untuk percakapan panjang yang akhirnya berujung pada keluarnya selembar uang.
Aku melihat dari kejauhan. Samiun menunduk, bukan karena bersalah, tapi karena tahu tak punya kuasa berbicara. Setelah para petugas itu pergi, ia duduk lama di jok motornya. Wajahnya menanggung campuran malu dan kesal yang tak bisa ia ucapkan kepada siapa pun.
Kisah itu sampai di telinga Pak Sastra pada sore yang sama. Ia hanya menghela napas panjang, seperti orang yang mendengar kabar lama dalam bentuk baru.
“Wereng itu banyak macamnya,” katanya waktu itu sambil menatap matahari sore. “Ada yang memakan padi, ada yang memakan harapan.”
Aku tidak menjawab. Sebab dalam hati, aku turut merasakan pahit yang dicampur pasrah—perpaduan rasa yang, sayangnya, makin sering ditemui di desa-desa seperti Kalikedung.
Kembali ke sawah pagi itu, Pak Sastra bangkit dari jongkoknya. Ia tampak mencoba menerima kenyataan bahwa sebagian tanaman yang ia pelihara sejak masa tanam kini tengah diserang.
“Kau tahu, Nang,” ia mulai bicara sambil menatap hamparan sawah, “padi itu seperti manusia. Ia butuh air, butuh cahaya, butuh tempat teduh, dan terutama, butuh dijaga. Tapi apa daya, selalu ada makhluk kecil yang datang untuk menghisap.”
Aku mendengarkan tanpa menyela. Ada keheningan yang aneh, sebab suara jangkrik dan burung tetap terdengar, tapi rasanya jauh.
“Dulu, waktu aku masih muda,” lanjutnya, “bapak selalu bilang, ‘Sastra, sawah itu ibarat rumah. Yang menyerang rumahmu bukan hanya hujan atau angin, tapi kadang sesuatu yang bahkan tak kau lihat.’”
Ia tersenyum getir. “Rupanya benar.”
Aku berjalan sejajar dengannya melewati pematang. Lumpur yang basah membuat langkah rumit, tapi kami tak terburu-buru. Langkah kami menyesuaikan ritme alam yang pelan.
“Wereng itu tidak pernah datang sendiri,” kata Pak Sastra. “Ia datang ketika ada kesempatan. Ketika padi kurang kuat, tanah kurang subur, atau petani kurang berjaga.”
Ia menatapku, lalu menambahkan dengan nada lebih rendah, “Sama seperti kehidupan manusia, bukan?”
Aku memahami maksudnya. Tapi Pak Sastro tidak pernah menunjuk siapa pun secara langsung. Ia selalu memakai simbol, perumpamaan, atau cerita. Itu yang membuatnya dihormati orang sekampung.
“Kalau wereng di sawah bisa diberantas,” kataku, “bagaimana dengan wereng yang menyerang manusia, Pak?”
Ia mendongak menatap langit. Burung manyar melintas sambil memanggil pasangan. “Untuk itu… kita harus hati-hati. Sebab wereng yang satu itu tidak hidup di daun padi, tapi hidup di celah-celah kesempatan. Kadang memakai sepatu mengilap, kadang membawa senyum manis.”
Aku terdiam. Kata-kata itu terasa seperti kabut, lembut tapi menyusup.
Selepas dari sawah, kami berjalan ke gubuk kecil tempat Pak Sastra biasa menyimpan cangkul dan ember. Ia duduk di bangku bambu yang sudah mulai keropos, dan aku duduk di sebelahnya.
“Nang,” katanya pelan, “aku ingin bercerita sesuatu.”
Aku menoleh.
“Dulu, sekitar dua puluh tahun lalu, saat desa ini baru dapat jalan aspal pertama, kami sangat bangga. Orang-orang berseragam datang mengamankan prosesnya. Kami merasa terlindungi. Tapi entah sejak kapan, ada sebagian dari mereka yang berubah.”
Ia tidak menyebut siapa. Tidak menyebut institusi. Tidak menyebut nama. Hanya “mereka” — sebuah kata netral yang menyimpan getir.
“Mula-mula, kami dihentikan karena alasan kecil. Lalu harus mengeluarkan uang ‘rokok’. Lama-lama, beberapa orang desa jadi terbiasa. Mereka bilang itu wajar. Tapi apa yang wajar dari perilaku yang merendahkan diri kita sendiri?”
Ia menatapku dalam-dalam, matanya tampak lelah oleh ingatan.
“Dan kau tahu kapan wereng paling cepat berkembang?” Ia bertanya.
“Kapan, Pak?”
“Ketika petaninya terlalu pasrah. Ketika ia tak lagi mencoba melawan.”
Kalimat itu menghantam dadaku lebih keras dibanding yang kukira.
Siang itu, aku pergi ke rumah Samiun. Ia duduk di beranda sambil mengutak-atik motor barunya. Kusapa ia, lalu kami berbincang sebentar.
“Tak apa, Mas,” katanya sambil mencoba tersenyum. “Aku tahu aturan. Mereka juga kerja. Mungkin itu sudah biasa.”
Tapi suaranya tak bisa menyembunyikan pahit yang tercecer.
“Pak Sastro bilang,” kataku hati-hati, “yang biasa belum tentu benar.”
Ia terdiam. Tangannya berhenti mengelap kaca spion.
Tiba-tiba ia berkata lirih, “Yang membuatku sedih bukan uangnya, Mas. Tapi rasanya… seperti diremas harga diriku. Seolah aku tak bisa membela diri.”
Aku menepuk bahunya. Dalam hati aku tahu, rasa seperti itu lebih berat daripada kehilangan lembaran uang kecil.
Ketika aku pulang, aku melihat Pak Sastra sedang duduk di bale-bale depan rumahnya, menatap langit. Kudekati ia.
“Samiun masih sedih,” kataku.
Pak Sastra mengangguk. “Ya. Tapi ia akan belajar. Kita semua akan belajar. Seperti petani yang belajar membaca tanda-tanda wereng pada daunnya.”
Ia menghela napas panjang. “Seandainya masyarakat bisa belajar mengenali tanda-tanda awal dari hama kehidupan… mungkin banyak hal bisa dicegah sebelum telanjur parah.”
Aku duduk di sampingnya. Di hadapan kami, pohon jambu air mulai berbunga kecil-kecil. Mekarnya pelan seperti harapan yang tumbuh tanpa suara.
Esok harinya, Pak Sastra mengajakku berkeliling sawah. Ia menunjukkan rumpun-rumpun yang terkena serangan, mengajarkan bagaimana membaca gejalanya.
“Lihat ini, Nang,” katanya sambil mengangkat batang padi yang pangkalnya menghitam. “Ini namanya hopperburn. Daun terbakar, batang layu. Kalau sudah begini, artinya wereng sudah lama menghisap nira tanpa kita sadari.”
Aku mengangguk, merasa ngeri. Betapa kecil serangga itu, tapi betapa besar kerusakannya.
“Yang membuat wereng berbahaya adalah cara kerjanya,” lanjutnya. “Diam, sistematis, dan memanfaatkan kelengahan.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatapku sambil tersenyum tipis. “Kau mengerti maksudku?”
Aku tersenyum kembali. “Maksud Pak Sastra, begitu pula dalam kehidupan.”
Ia mengangguk. “Benar. Ada perilaku-perilaku yang tampak kecil, tapi bila dibiarkan, bisa menggerogoti kepercayaan kita pada sesama. Menghisap pelan-pelan, lalu membuat kita menguning sebelum waktunya.”
Ia tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Semua sudah jelas.
Menjelang petang, kami duduk di pinggir pematang sambil memandang cahaya matahari yang memerah. Angin membawa suara anak-anak bermain di kejauhan dan aroma jerami yang baru ditebas.
“Nang,” kata Pak Sastra, “aku sudah tua. Mungkin tak lama lagi aku hanya akan menjadi cerita bagi orang-orang desa. Tapi ada satu hal yang ingin aku titipkan.”
“Apa itu, Pak?”
“Jangan biarkan wereng berkembang, baik di sawah maupun di hidupmu. Ketika kau melihat tanda-tandanya, meski kecil, meski samar, jangan diam. Kejahatan kecil yang dibiarkan akan tumbuh seperti wereng yang tak terkendali.”
Aku menatap wajahnya yang mulai diterpa cahaya keemasan. Garis-garis usianya tampak seperti peta yang menunjukkan jalan panjang kehidupan.
“Dan ingatlah,” lanjutnya, “wereng tidak selalu menjelma serangga. Kadang ia berwujud manusia yang tersenyum. Kadang ia memakai seragam. Kadang ia terlihat terhormat. Yang membedakan hanyalah tabiatnya: apakah ia menghisap hidup orang lain atau merawatnya.”
Suara desir padi menjadi musik latar dari kata-kata itu.
“Pada akhirnya,” tutupnya, “masa depan sawah—dan masa depan bangsa—bergantung pada siapa rakyatnya. Jika rakyat masih memganggap Pemimpin, Pejabat atau Aparat adalah Raja, maka mereka diam-diam akan menjadi wereng dalam kehidupan kita.”
Aku mengangguk, membiarkan kata-kata itu menetap dalam hati seperti benih yang ditanam pada musim tepat.
Matahari tenggelam. Cahaya terakhirnya memantul di permukaan air sawah, menciptakan warna emas yang hangat. Di tengah cahaya itu, Pak Sastra berdiri, memandang jauh, seolah berbicara dengan masa depan yang tak ia lihat tapi masih ia doakan.
Dan aku tahu, apa pun yang terjadi, kata-kata lelaki tua itu akan tetap tertanam di pematang hidupku:
“Berjagalah. Sebab wereng selalu datang ketika kita berhenti memperhatikan.”
Cerpen Karya Syam
