Skip to main content

Posts

Anomali Kekerasan Bahasa "Ndasmu"

 Bahasa merupakan alat komunikasi utama dalam kepemimpinan. Pemimpin negara, terutama seorang presiden, memiliki peran penting dalam membentuk citra kepemimpinan melalui gaya berkomunikasi. Pilihan kata, nada bicara, dan konteks komunikasi dapat berdampak luas, tidak hanya dalam ruang politik domestik tetapi juga dalam ranah internasional. Baru-baru ini, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengandung kata "ndasmu" menjadi sorotan publik. Kata ini dalam bahasa Jawa memiliki makna kasar yang, bergantung pada konteksnya, dapat berkonotasi ofensif atau bercanda. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena ini dari perspektif linguistik, politik, dan etika kepemimpinan. Kerangka Teori Untuk memahami fenomena ini secara akademik, kajian ini menggunakan beberapa pendekatan teori: 1. Pragmatik dan Sosiolinguistik Pragmatik mempelajari bagaimana konteks memengaruhi makna ujaran. Dalam kasus ini, kata "ndasmu" dapat memiliki berbagai interpretasi tergantung situasi...

Adili Jokowi vs Hidup Jokowi: Dinamika Publik dan Politik

Dalam beberapa waktu terakhir, muncul gelombang tuntutan publik berupa slogan “Adili Jokowi” yang viral di media sosial, mural-mural kota, hingga aksi langsung di ruang publik. Seruan ini merupakan ekspresi kekecewaan sebagian masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan mantan Presiden Joko Widodo sepanjang dua periode kepemimpinannya. Beberapa poin utama fenomena “Adili Jokowi”: • Mural dan slogan publik Di kota-kota seperti Surabaya, Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Medan, berbagai tulisan “Adili Jokowi” muncul di dinding-dinding kota. Slogan ini menjadi simbol kritis atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik politik yang dinilai merugikan publik (termasuk narasi soal dinasti politik). Tagar seperti #AdiliJokowi dan #IndonesiaGelap juga menjadi trending di platform X (sebelumnya Twitter), terutama di kalangan mahasiswa, aktivis, dan kaum muda yang menganggap ada “Indonesia Gelap” akibat kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Fenomena tagar #IndonesiaGelap dik...

“Bayar Bayar Bayar”: Realitas Ekspresi Berkesenian

Lagu Bayar Bayar Bayar dari band punk Sukatani sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial karena liriknya yang tajam mengkritik praktik suap dalam institusi kepolisian. Meskipun akhirnya lagu tersebut ditarik dan bandnya meminta maaf, keberadaannya telah menimbulkan diskusi lebih luas tentang kebebasan berekspresi, seni sebagai alat kritik sosial, dan batas antara kritik dengan penghinaan. Seni sebagai Cerminan Realitas Dalam sejarah seni, musik sering menjadi media yang kuat untuk menyuarakan kegelisahan sosial. Dari Blowin’ in the Wind karya Bob Dylan yang mengkritik perang hingga lagu-lagu Iwan Fals yang menyuarakan ketimpangan sosial di Indonesia, musik memiliki kekuatan untuk merekam, mencerminkan, dan bahkan memprovokasi perubahan sosial. Lirik Bayar Bayar Bayar berbicara tentang pengalaman yang dirasakan banyak orang ketika berhadapan dengan sistem birokrasi yang korup. Lagu ini bukan hanya sekadar ungkapan kemarahan, tetapi juga representasi dari sebuah realitas sosi...

Pendidikan Ala Ki Hajar Dewantara

Ketika kita berbicara tentang pendidikan di Indonesia, nama Ki Hajar Dewantara pasti muncul sebagai tokoh utama. Beliau bukan hanya Bapak Pendidikan Nasional, tetapi juga pencetus gagasan pendidikan yang membebaskan, mendidik dengan keteladanan, dan membangun karakter. Nah, bagaimana sebenarnya konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara? 1. Belajar dengan Kebebasan: Pendidikan yang Memerdekakan Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan harus membebaskan manusia, bukan sekadar mengajarkan hafalan atau mencetak tenaga kerja. Beliau ingin setiap anak tumbuh sesuai dengan bakat dan minatnya, bukan dipaksa mengikuti sistem yang kaku. Konsep ini mirip dengan "Merdeka Belajar" yang sekarang diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia. 2. Tiga Pilar Pendidikan: Ing Ngarsa Sung Tulodho Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara terkenal dengan semboyan: Ing ngarsa sung tulodho (di depan memberi teladan) Ing madya mangun karso (di tengah membangun semangat) Tut wuri handayani (di belakang memb...

Senyum Karyamin dan Tafsir yang Tak Pernah Usai

Di tengah derasnya arus berita dan pertarungan wacana yang gaduh, cerpen-cerpen Ahmad Tohari terasa seperti bisikan lembut dari tepian kampung. Ia menulis dengan bahasa yang tenang, tetapi membawa luka yang dalam. Salah satu cerpen yang hingga kini masih bergetar di benak saya adalah Senyum Karyamin. Cerpen ini pertama kali saya baca dalam suasana kuliah. Tapi tokoh Karyamin yang memanggul batu, tersenyum dalam lapar, dan terhuyung di jalan desa, justru menancap sebagai perenungan panjang tentang makna kehidupan. Bukan hanya karena keindahan narasi, tetapi juga karena makna yang terus mengendap dan menggelisahkan. Senyum yang Tidak Sederhana Karyamin adalah lelaki biasa. Ia memanggul batu dari sungai untuk dijual demi menyambung hidup. Badannya lemah, dompetnya kosong, dan hutangnya menumpuk. Namun di wajahnya tersungging senyum. Senyum ini, dalam pembacaan pertama, bisa saja dianggap sebagai simbol keikhlasan—seperti sering kita temukan dalam narasi-narasi spiritual. Namun semakin ser...

Menakar Risiko Dolar Menembus Rp17 ribuan, Mencari Peluang dalam Krisis Nilai Tukar

  Kembali 2025 mencatatkan peristiwa yang  mengguncang sendi perekonomian nasional: nilai tukar dolar Amerika Serikat menembus angka psikologis Rp17.000an. Bagi masyarakat awam, kabar ini membawa kecemasan terhadap harga kebutuhan pokok. Bagi pelaku usaha, sinyal ini menandakan tekanan baru dalam produksi, distribusi, dan daya saing. Nilai tukar yang terus bergerak liar mempertegas bahwa ekonomi Indonesia sangat terhubung dan rentan terhadap dinamika global. Tetapi apakah krisis ini hanya tentang kekhawatiran? Atau justru menjadi momentum refleksi dan restrukturisasi ekonomi nasional? Pelemahan rupiah bukanlah hal baru. Dalam kurun tiga dekade terakhir, Indonesia telah beberapa kali mengalami tekanan nilai tukar yang drastis, mulai dari krisis moneter 1998 hingga krisis keuangan global 2008. Namun konteks kali ini berbeda: tekanan nilai tukar tidak datang dari dalam, melainkan dari kombinasi tekanan global yang semakin kompleks dan cepat merambat ke sistem keuangan domestik. A...

Hegemoni Kekuasaan: Dominasi Ideologi dalam Masyarakat

  Hegemoni kekuasaan adalah konsep yang menjelaskan bagaimana kelompok dominan mempertahankan kontrolnya tidak hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan sosial dan budaya. Antonio Gramsci, seorang filsuf dan aktivis politik asal Italia, mengembangkan teori ini dengan menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui militer atau hukum, tetapi juga melalui kontrol terhadap ideologi, pendidikan, dan media. Dalam kehidupan modern, hegemoni dapat dilihat dalam berbagai aspek, seperti politik, media, dan ekonomi. Artikel ini akan membahas bagaimana hegemoni bekerja dan memberikan contoh spesifik dari berbagai konteks sosial. Pengertian Hegemoni Kekuasaan Secara sederhana, hegemoni adalah dominasi suatu kelompok atas kelompok lain melalui persetujuan yang dibentuk secara ideologis, bukan hanya melalui paksaan. Menurut Gramsci, kelas penguasa tidak hanya mengendalikan sumber daya ekonomi tetapi juga membentuk cara berpikir masyarakat agar menerima sistem yang ada sebagai...

Lemahnya Sistem Meritokrasi: Sebuah Tantangan bagi Kemajuan Bangsa

 Meritokrasi merupakan sistem yang menempatkan individu pada posisi tertentu berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kompetensi, bukan karena faktor lain seperti hubungan keluarga, koneksi politik, atau kekuatan finansial. Namun, di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem meritokrasi masih menghadapi berbagai tantangan yang melemahkan efektivitasnya. 1. Definisi dan Prinsip Dasar Meritokrasi Meritokrasi berasal dari kata merit, yang berarti "layak" atau "berhak". Dalam sistem ini, seseorang mendapatkan posisi atau jabatan berdasarkan kualitas yang dapat diukur secara objektif, seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan, dan kinerja. Idealnya, meritokrasi dapat menciptakan lingkungan kerja dan pemerintahan yang lebih profesional, efisien, dan berorientasi pada hasil. 2. Faktor-Faktor yang Melemahkan Meritokrasi a. Nepotisme dan Koneksi Politik Salah satu faktor utama yang melemahkan meritokrasi adalah praktik nepotisme dan patronase politik. Di berbagai sektor, teru...