Bardi, lelaki desa yang setia pada kerja sosialnya, terus menyalakan semangat tanpa upah. Tapi di balik ketulusan itu, ada luka kecil yang terus tumbuh—tentang nama yang tercatat, tapi hidup yang tak pernah dihitung. --- Kabut pagi masih menggantung di pucuk randu ketika Bardi menyalakan motor tuanya. Asap putih keluar dari knalpot seperti napas orang tua yang letih. Di boncengan, terikat gulungan spanduk dan beberapa brosur lusuh yang sudah basah kena embun malam. Ia berangkat lagi. Dari dusun ke dusun, dari gang sempit ke balai RW. Kadang disambut dengan senyum, kadang dengan pandangan curiga. “Ini program apa, Pak? Ada duitnya?” tanya seorang warga. Bardi hanya tersenyum. “Tidak, Bu. Tapi ini untuk kebaikan bersama.” Sudah dua minggu ia berkeliling, menempel spanduk, membagi brosur, mencatat nama-nama yang mau bergabung. Tak ada gaji, tak ada janji. Hanya kalau ada rapat di kecamatan, ia dapat amplop kecil berisi uang transport. Kadang cukup untuk bensin, kadang tidak. Tapi Bardi ja...
Ketika film dokumenter Dirty Vote pertama tayang pada Februari 2024, publik dibuat terhenyak. Tiga ahli hukum berbicara tanpa tedeng aling-aling tentang bagaimana kekuasaan memelintir aturan untuk memenangkan kontestasi politik. Kini, hampir setahun berselang, Dirty Vote II (O³) hadir — lebih panjang, lebih berani, dan lebih getir. Film ini bukan sekadar lanjutan, melainkan autopsi atas tubuh demokrasi Indonesia. Ia menelanjangi relasi kuasa yang makin kompleks: “Otot, Otak, dan Ongkos” (O³) — tiga pilar yang kini menopang kekuasaan di republik ini. Otot, Otak, dan Ongkos: Segitiga Besi Kekuasaan Dandhy Dwi Laksono dan Watchdoc kembali memperlihatkan bagaimana demokrasi kita disandera oleh sistem yang tampak legal, tapi sarat manipulasi. Otot melambangkan kekuatan koersif negara — aparat, lembaga penegak hukum, dan struktur birokrasi — yang bisa diarahkan untuk menekan atau mengamankan kepentingan tertentu. Otak mewakili desain hukum dan regulasi yang disusun sedemikian rupa untuk memb...