Kabut pagi turun pelan-pelan seperti doa yang belum selesai dilafalkan. Dari kejauhan, Desa Kalikedung tampak seperti sekeping dunia yang belum tersentuh hiruk-pikuk kota. Sawah-sawah membentang sejauh mata memandang, dihiasi kilau embun yang tersisa dari semalam. Di batas pematang, Pak Sastra berdiri dalam diam, seolah mematung bersama rumpun padi yang bergoyang ringan ditiup angin. Aku menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membuat tanah pematang runtuh. Dari belakang, tubuhnya tampak kokoh tetapi bergetar halus, seperti ada beban yang ia pikul tanpa bisa dibagi dengan siapa pun. “Pagi, Pak,” kataku pelan. Ia menoleh. Wajahnya yang biasanya cerah tampak keruh, penuh garis-garis yang kutahu bukan hanya sebab umur. “Pagi, Nang. Kau lihat ini…” Ia menunjuk ke hamparan padi yang menguning sebelum waktunya. “Warnanya pucat. Menguning tapi tak bahagia.” Aku mengamati lebih dekat. Daun-daunnya menggulung, beberapa batangnya merunduk seperti orang tua yang terlalu cepat kehilanga...
Di ujung Desa Wanasri, tepat di tepi pematang sawah yang membelah kampung, tinggallah seorang lelaki sederhana bernama Sukarman. Ia bukan tokoh penting desa; bukan ketua RT, bukan perangkat desa, bahkan bukan pemilik sawah luas. Ia hanyalah lelaki yang hidup dari bekerja serabutan—kadang menjadi tukang membetulkan pintu rumah warga, kadang membantu menimba air di mushola. Yang ia punya hanya senyum yang tak pernah ditarik dari bibirnya, dan cara bicara yang selalu pelan, seolah takut melukai angin. Namun entah dari mana asalnya, nama Sukarman kerap jadi buah bibir. Bukan dalam bentuk pujian, melainkan dalam bentuk cerita-cerita liar yang beredar persis seperti asap dapur yang beterbangan tanpa arah. Orang bilang ia licik. Ada pula yang bilang ia mau cari muka pada perangkat desa. Yang lebih kejam, ada yang menuduh ia menilep beras bantuan meski ia bahkan tak memiliki akses ke gudang penyimpanan. Padahal, bagi Sukarman sendiri, kehidupan berjalan terlalu sunyi untuk mengurusi hal-hal se...