Skip to main content

Posts

Showing posts from 2025

NGLUNGSUMI

Di kampung-kampung Jawa, orang sering memakai kata “nglungsumi” untuk menggambarkan ular yang sedang berganti kulit. Lapisan lama terkelupas, jatuh di semak, sementara sang ular melenggang dengan kulit baru yang lebih mengilap. Alam memaknai ini sebagai siklus hidup: bertumbuh, memperbarui diri, menyesuaikan dengan perubahan. Namun dalam kehidupan manusia, kata itu tak selalu bermakna demikian indah. Di warung-warung pagi, di teras masjid selepas magrib, atau di bawah pohon sawo tempat orang menunggu angkot, “nglungsumi” menjadi sindiran halus untuk menggambarkan perubahan perilaku seseorang setelah menerima amanah, jabatan, atau kuasa. Sebuah perubahan yang bukan tumbuh ke dalam, melainkan menebalkan kulit luarnya saja. Di banyak desa Jawa, kita mengenal orang yang dulu biasa saja: nongkrong di pos ronda, ikut kerja bakti tanpa perlu undangan, menaruh wajah teduh saat berbicara pada tetangga. Tetapi ketika kekuasaan menempel di badannya—entah sebagai ketua RT, anggota panitia, staf ke...

Nggragas

Ada satu kata Jawa yang sederhana namun penuh tenaga: nggragas. Dalam mulut orang Jawa, kata ini sering diucapkan dengan sedikit getar nada jijik. Nggragas bukan sekadar rakus—ia lebih dalam, lebih licik, lebih membahayakan. Ia bukan hanya soal perut yang tak tahu kenyang, tapi juga tentang hati yang menolak puas, tentang nafsu yang menelan akal sehat. Dalam dunia yang serba dibungkus kepalsuan hari ini, nggragas menjelma menjadi wajah keseharian bangsa. Aku lahir dan besar di kampung. Di sana, rakus terlihat sederhana: orang yang makan paling banyak di kenduri, atau anak kecil yang menimbun jajanan tanpa mau berbagi. Tapi di kota—ah, di kota, nggragas menjelma dalam bentuk yang lebih halus dan berbahaya. Ia duduk di kursi empuk kantor pemerintah, berdasi, berbicara tentang moral dan nasionalisme, sambil menandatangani surat proyek dengan angka-angka yang melebihi imajinasi rakyat kecil. Nggragas adalah penyakit lama. Ia sudah ada sejak zaman raja-raja, sejak manusia pertama kali menge...

Pahlawanmu, Bukan Pahlawan Mereka?

Pada 10 November 2025, tepat di Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto menandatangani keputusan yang menetapkan Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia, sebagai Pahlawan Nasional. Berita itu mengguncang ruang publik, memunculkan tepuk tangan dan seruan keberatan dalam napas yang sama. Sebagian masyarakat menganggap keputusan itu sudah lama pantas. Bagi mereka, Soeharto adalah arsitek pembangunan, pemimpin yang mengangkat bangsa dari krisis dan membawa Indonesia menuju kestabilan. Namun bagi sebagian lain, keputusan itu terasa seperti membuka kembali luka lama — luka tentang kekerasan, pembungkaman, dan ketidakadilan yang belum pernah benar-benar disembuhkan. Kini, perdebatan tentang “apakah Soeharto layak menjadi pahlawan” tak lagi relevan. Ia sudah resmi menjadi pahlawan nasional. Pertanyaannya bergeser: apa arti kata “pahlawan” setelah keputusan ini diambil? -- Tak ada yang bisa menampik bahwa Soeharto memiliki jasa besar bagi negeri ini. Ia menata ekonomi pasca-1965 yang kacau,...

Para Penjual Penderitaan

Hujan turun berhari-hari. Tanah menjadi jenuh, sungai meluap, rumah-rumah di tepi bantaran roboh seperti gigi rapuh yang tak sempat dirawat. Anak-anak berlari membawa ember, menampung air yang bocor dari atap seng, dan seorang ibu menatap dengan wajah pasrah: bukan pada air, tapi pada nasib yang entah kapan berhenti menetes seperti itu. Di luar sana, suara sirene meraung, dan kamera-kamera mulai berdatangan. Mereka yang dulu jarang lewat gang sempit kini datang dengan rompi dan kamera besar, merekam setiap genangan, setiap tangis, setiap tubuh yang menggigil. Begitulah musim hujan di negeri ini—bukan hanya musim air, tapi juga musim empati yang dijual per kilo. Di antara lumpur dan reruntuhan, berdiri orang-orang yang tahu betul bahwa duka adalah bahan siaran yang laku, bahwa air mata bisa menjadi pembuka berita yang mengundang klik, bahwa bencana adalah musim panen bagi mereka yang hidup dari citra iba. Para penjual penderitaan muncul dari berbagai arah. Ada yang datang dengan kamera,...

Lelah, Tanpa Upah

Bardi, lelaki desa yang setia pada kerja sosialnya, terus menyalakan semangat tanpa upah. Tapi di balik ketulusan itu, ada luka kecil yang terus tumbuh—tentang nama yang tercatat, tapi hidup yang tak pernah dihitung. --- Kabut pagi masih menggantung di pucuk randu ketika Bardi menyalakan motor tuanya. Asap putih keluar dari knalpot seperti napas orang tua yang letih. Di boncengan, terikat gulungan spanduk dan beberapa brosur lusuh yang sudah basah kena embun malam. Ia berangkat lagi. Dari dusun ke dusun, dari gang sempit ke balai RW. Kadang disambut dengan senyum, kadang dengan pandangan curiga. “Ini program apa, Pak? Ada duitnya?” tanya seorang warga. Bardi hanya tersenyum. “Tidak, Bu. Tapi ini untuk kebaikan bersama.” Sudah dua minggu ia berkeliling, menempel spanduk, membagi brosur, mencatat nama-nama yang mau bergabung. Tak ada gaji, tak ada janji. Hanya kalau ada rapat di kecamatan, ia dapat amplop kecil berisi uang transport. Kadang cukup untuk bensin, kadang tidak. Tapi Bardi ja...

Dirty Vote II (O³): Ketika Demokrasi Tak Lagi Milik Rakyat

Ketika film dokumenter Dirty Vote pertama tayang pada Februari 2024, publik dibuat terhenyak. Tiga ahli hukum berbicara tanpa tedeng aling-aling tentang bagaimana kekuasaan memelintir aturan untuk memenangkan kontestasi politik. Kini, hampir setahun berselang, Dirty Vote II (O³) hadir — lebih panjang, lebih berani, dan lebih getir. Film ini bukan sekadar lanjutan, melainkan autopsi atas tubuh demokrasi Indonesia. Ia menelanjangi relasi kuasa yang makin kompleks: “Otot, Otak, dan Ongkos” (O³) — tiga pilar yang kini menopang kekuasaan di republik ini. Otot, Otak, dan Ongkos: Segitiga Besi Kekuasaan Dandhy Dwi Laksono dan Watchdoc kembali memperlihatkan bagaimana demokrasi kita disandera oleh sistem yang tampak legal, tapi sarat manipulasi. Otot melambangkan kekuatan koersif negara — aparat, lembaga penegak hukum, dan struktur birokrasi — yang bisa diarahkan untuk menekan atau mengamankan kepentingan tertentu. Otak mewakili desain hukum dan regulasi yang disusun sedemikian rupa untuk memb...

Refleksi atas Film Dirty Vote: Mendidik Kesadaran Politik di Era Demokrasi yang Ternoda

Film dokumenter Dirty Vote karya Dandhy Dwi Laksono mengguncang kesadaran publik Indonesia menjelang Pemilu 2024. Film ini tidak sekadar menyuguhkan informasi, tetapi menjadi cermin tajam tentang praktik kekuasaan dan moralitas politik. Tiga pakar hukum tata negara — Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar — mengurai bagaimana kekuasaan bisa memanipulasi hukum, kebijakan, dan aparat negara demi kepentingan elektoral. Sebagai bahan pendidikan politik, film ini membuka ruang dialog kritis tentang makna demokrasi sejati, etika kepemimpinan, dan tanggung jawab warga negara dalam menjaga kedaulatan rakyat. Mari kita analisis, pertama Kekuasaan dan Manipulasi Demokrasi. Demokrasi seharusnya menjamin kesetaraan hak dan keadilan politik. Namun, Dirty Vote menyingkap bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik dapat digunakan untuk menekan sistem agar berpihak pada kelompok tertentu. Fenomena seperti politik dinasti, bansos yang dipolitisasi, dan lemahnya lembaga pengawas pemilu men...

Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Upaya Mewujudkan Kemakmuran Rakyat Indonesia

Secara teoritis, kebijakan moneter dan fiskal merupakan dua instrumen utama untuk mengatur stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, istilah-istilah seperti “inflasi inti”, “BI Rate”, atau “defisit fiskal” terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Sebab, meskipun indikator makroekonomi tampak membaik — inflasi terkendali, nilai tukar stabil, pertumbuhan ekonomi sekitar 5% — kesejahteraan riil rakyat masih belum menunjukkan peningkatan signifikan. Di sinilah letak persoalan mendasar: apakah kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia benar-benar berpihak pada kemakmuran rakyat, atau sekadar menjaga stabilitas makro demi kepentingan elite ekonomi dan pasar keuangan? Kebijakan Moneter: Stabilitas yang Tak Selalu Bermakna untuk Rakya t Kebijakan moneter yang dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) memiliki mandat utama: menjaga kestabilan nilai rupiah. Fokus ini sering diterjemahkan dalam dua hal — mengendalikan inflasi dan menjaga kurs. Namun, pendekatan yan...

Pentingnya Konsultan Pendidikan bagi Siswa, Guru, dan Sekolah

Oleh: Syamsul Maarif, M.Pd (Brebes, Oktober 2025) Perubahan dunia pendidikan berlangsung begitu cepat. Teknologi digital, kurikulum baru, serta tuntutan dunia kerja yang terus berubah membuat sekolah dan guru harus beradaptasi lebih dinamis. Namun, tidak semua mampu bergerak secepat itu. Dalam konteks inilah, keberadaan konsultan pendidikan menjadi penting — bukan sekadar pelengkap, tetapi mitra strategis dalam membangun ekosistem pendidikan yang sehat dan berdaya saing. Menuntun Siswa Menemukan Arah dan Potensi Bagi siswa, terutama di jenjang SMA atau SMK, masa sekolah bukan hanya tentang lulus ujian, tetapi menemukan jati diri dan arah masa depan. Sayangnya, banyak siswa yang belum memahami potensi dirinya, bingung memilih jurusan, atau tidak tahu bagaimana merencanakan karier. Konsultan pendidikan hadir untuk membantu mereka mengenali kekuatan, minat, dan nilai-nilai pribadi. Melalui asesmen minat dan bakat, konsultan dapat memetakan kecenderungan belajar dan memberikan panduan prak...

Kereta Cepat Whoosh: Modernitas yang Melaju, Ketimpangan yang Menyertai

Pada 2 Oktober 2023, Indonesia resmi memasuki babak baru sejarah transportasi dengan diresmikannya Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau dikenal dengan nama Whoosh. Diresmikan dengan gegap gempita sebagai “ikon modernitas nasional”, Whoosh menjadi proyek kebanggaan pemerintah yang diklaim menandai lompatan peradaban—sebuah pencapaian teknologi yang menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju di Asia. Namun, di balik kecepatan 350 km/jam dan jargon “efisiensi waktu”, tersimpan pertanyaan lebih dalam: untuk siapa sebenarnya kereta cepat ini dibangun? Apakah ia benar-benar menjawab kebutuhan publik, atau sekadar menjadi etalase kemajuan yang menutupi ketimpangan sosial, beban ekonomi, dan luka-luka kultural di bawah relnya? Tulisan ini mencoba membedah proyek Whoosh secara kritis, melalui tiga lensa utama: ekonomi politik, sosial-ekonomi, dan antropologi mobilitas. Pendekatan ini membantu melihat bahwa pembangunan infrastruktur bukan hanya soal beton dan kecepatan, tapi jug...

Feodalisme, Kebebasan Media, dan Luka Kolektif Pesantren

Objektivitas di Tengah Polemik Tayangan Trans7 Dalam beberapa hari terakhir, ruang publik Indonesia diramaikan oleh perdebatan seputar tayangan program Xpose Uncensored yang ditayangkan Trans7 pada 13 Oktober 2025. Tayangan itu dianggap melecehkan kalangan pesantren, terutama karena menampilkan narasi dan visual yang dinilai menyinggung martabat santri dan kiai. Polemik ini tidak hanya memunculkan tagar #BoikotTrans7 dan #BoikotIndihome (karena Trans7 merupakan bagian dari grup Trans Media milik CT Corp yang juga memiliki kerja sama distribusi dengan Indihome), tetapi juga membuka kembali perbincangan lama: tentang bagaimana pesantren dipahami, dan bagaimana media seharusnya mengangkat realitas sosial tanpa menginjak nilai kultural yang dijaga ketat oleh komunitasnya. Isi Polemik: Tayangan dan Respons Publik Tayangan yang memicu kontroversi itu memuat cuplikan dengan judul provokatif: “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” Narasi visual tersebut dikait...

Feodalisme Kyai dan Santri di Lingkungan Pesantren?

Pesantren selama ini dikenal sebagai benteng moral bangsa, tempat persemaian ilmu agama dan akhlak. Di balik tembok-temboknya yang sederhana, tumbuh relasi yang sakral antara kyai dan santri. Namun, di tengah perubahan zaman dan modernisasi pendidikan Islam, muncul fenomena yang jarang diungkap secara terbuka: feodalisme dalam dunia pesantren. Relasi kyai-santri yang semula dibangun atas dasar keilmuan dan keteladanan spiritual, kini di beberapa tempat bergeser menjadi relasi patron-klien — di mana posisi kyai begitu dominan dan nyaris tak tersentuh kritik. Sementara para santri, yang mestinya menjadi penuntut ilmu yang merdeka, sering kali terjebak dalam sikap tunduk total, bahkan hingga ke ranah yang tak lagi ilmiah, melainkan personal dan politik. Dalam banyak pesantren, kyai bukan hanya guru spiritual, tapi juga penguasa simbolik, bahkan administratif. Ia mengatur segalanya: dari sistem pendidikan, ekonomi pesantren, hingga arah politik warga sekitar. Aura karismatik yang dimiliki ...

Kebebasan?

Di era digital, media sosial telah menjadi wadah utama bagi masyarakat Indonesia untuk menyuarakan pendapat. Dari politik hingga budaya pop, netizen Indonesia dikenal lantang dalam menyampaikan opini. Namun, seberapa murni suara mereka? Apakah benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat atau justru dipengaruhi oleh kepentingan tertentu? Netizen dan Kekuatan Opini Publik Media sosial seperti Twitter, Facebook, dan TikTok kini berperan besar dalam membentuk opini publik. Isu nasional yang mencuat, seperti kebijakan pemerintah atau skandal pejabat, dapat dengan cepat menjadi viral. Tagar dan komentar netizen sering kali memengaruhi kebijakan atau reaksi pejabat publik. Misalnya, saat kasus korupsi pejabat viral, tekanan dari netizen bisa memaksa pemerintah bertindak lebih cepat. Begitu juga dengan isu sosial seperti pelecehan seksual atau ketidakadilan hukum, suara netizen sering kali menjadi pemicu gerakan yang lebih besar. Fenomena Buzzer dan Opini Bayaran Namun, tidak semua opini di m...

“Kabinet Gemuk: Antara Efisiensi Retoris dan Politik Kekuasaan”

Analisis Kritis atas Fenomena Pelantikan Pejabat yang Berlebihan Oleh: Syansul Maarif Euforia Kekuasaan di Balik Seremoni Pelantikan Belum genap setahun menjabat, Presiden Prabowo Subianto tampak begitu rajin melantik pejabat negara. Dari menteri dan wakil menteri hingga staf khusus dan pejabat istana, daftar nama yang dilantik seolah tak berhenti bertambah. Publik mulai mempertanyakan: apakah ini pemerintahan efisien yang dijanjikan, atau justru “kabinet gemuk” yang membebani anggaran negara? Seremoni pelantikan yang sering kali disiarkan dengan gegap gempita di televisi memberi kesan stabilitas dan kerja cepat. Namun, di balik simbolisme tersebut, terselip paradoks besar: jumlah pejabat yang membengkak justru memperlihatkan wajah birokrasi yang semakin berlapis, tidak ramping, dan cenderung tidak efisien. Janji Efisiensi yang Menyusut di Tengah Politik Akomodatif Saat kampanye, Prabowo sering berbicara tentang pentingnya pemerintahan yang efisien dan kuat. Namun setelah berkuasa, rea...